Sabtu, 07 Januari 2012

Anak Orang


Anak Orang
Oleh: Arief Rahman Heriansyah

Sesungguhnya dia adalah anak lelaki yang dilahirkan dari keturunan orang biasa. Di sebuah desa yang terletak di pesisir sungai batu benawa pulau selatan Kalimantan. Di tempat itulah, rumah sederhana berdinding anyaman tikar ia dibesarkan bersama keluarga yang mendidiknya. Tak ada yang lebih dari dirinya. Hanya saja ia memiliki ketertarikan sendiri bagi orang-orang yang melihat sosoknya. Orang-orang akan sengaja memandang sosok itu sedikit lebih lama, seperti enggan berpaling melihat keanehan yang indah itu walaupun sesaat.
 Saat ia berumur tujuh tahun, memang sudah nampak perbedaan dari teman-teman bermain sebayanya itu. Teman-teman sepermainan yang berpenampilan acak-acakan dan apa adanya, serta kulit hitam kasar dan rambut kusut-masai. Sedangkan ia bertubuh bersih dengan ramput ikal yang tersisir rapi. Sangat terlihat kontras, seperti batu kerikil putih di tengah pasir hitam pinggiran pantai. Namun dia tidak merasakan perbedaan itu, hanya mata orang-orang dewasa lah yang akan tersenyum dan kemudian tertegun melihat ia dan teman-temannya dikala bermain. Ada yang terlihat janggal namun terasa indah untuk dicermati..   
Panggil saja dia Yusuf. Selanjutnya ia akan tersenyum saat mendengar namanya disebut. Bukan ketersengajaan Orangtuanya menamai demikian, namun memang parasnya sudah ditakdirkan bak Nabi Yusuf turun ke permukaan. Ibunya Aminah sangat menyadari perbedaan menonjol dari sosok anak lelaki semata wayangnya itu. Maka dari itulah ia betul-betul merawat serta memberikan kebutuhan yang cukup untuk putranya. Akan tetapi dia tidak pernah melarang dan mengekang apabila si Yusuf kecil ingin bermain bersama teman-temannya. Semua ia lakukan agar Yusuf bisa membangun mentalnya dan kelak dapat bermasyarakat bila ia sudah dewasa pada waktunya.           
Kemudian ia tersenyum sendiri, mengingat wajah tampan  anaknya muungkin juga menuruni dari wajahnya sendiri. Aminah menerawang, mengingat masa lalunya saat remaja menjadi kembang desa dan jadi para rebutan lelaki lajang di desanya itu. Sampai ia resmi menjadi isteri yang sah dari Abdurrahman, seorang lelaki desa yang tak kalah tampannya. Yang memiliki sepasang mata tajam dan garis kokoh di wajahnya, serta tubuh yang tidak cacat dan tegap sempurna. Walaupun pekerjaannya hanya nelayan biasa yang mencari ikan-ikan di sungai karena kewajiban membantu Orangtuanya, namun Aminah merasa mantap menerima pinangannya saat itu –setelah ia berkali-kali menolak pinangan dari lelaki yang lebih berada-, karena melihat ketulusan dari wajah Abdurrahman muda serta sifatnya yang terkenal santun dan bertanggung-jawab. Saat itu pula, musnahlah sudah harapan para lelaki dan gadis lajang di desanya itu, sebab orang yang telah lama didambakan sudah menjadi milik orang lain.  
“Assalamu’alaikum, Mama!” Aminah kaget, kemudian kesadaran menyelimuti seluruh dirinya. Suara teriakan Yusuf yang baru datang ke rumah menyadarkan ia dari lamunan panjangnya tadi. Seraya membalas salam Aminah tersenyum memandang anaknya yang berlumuran lumpur di tubuhnya dan nampak ugal-ugalan. 
“Kamu dari mana, sayang? Lihat tubuhmu kotor sekali...” Tanya Aminah sambil mengelus lembut kepala putranya.
“Mama, tim kami tadi menang lagi delapan kosong dari timnya Adi. Main bolanya lebih asyik karena harinya tadi hujan deraaaas sekali.” Jawab Yusuf kecil dengan penuh antusias, sehingga membuat Aminah semakin gemas dibuatnya.
“Ya sudah, kamu mandi dulu ke belakang sana. Mama tidak mau kalau anak mama nanti sakit.”
“Iya, Mah..” Kemudian Yusuf berlari menuju ke belakang rumahnya dengan meninggalkan jejak kotor di lantai. Aminah tertawa dan geleng-geleng kepala melihat semuanya itu. Kemudian ia mendesah, dan ia semakin yakin jikalau Yusuf sudah dewasa nanti akan persis seperti suaminya.
            Ketika liburan kelulusan sekolah, Yusuf yang saat itu berumur dua belas tahun dibawa oleh neneknya ke desa Kuin di Banjarmasin untuk berlibur. Lingkungan dan keadaan yang berbeda membuat ia harus bisa beradaptasi terutama dengan teman-teman bermainnya nanti. Memang benar adanya, dengan begitu cepat ia mendapat teman-teman sebayanya, bahkan mengalir begitu saja. Anehnya semua anak-anak di kampung itu ingin berteman dengannnya. Tanpa peduli dengan status mereka yang kebanyakan anak-anak terpandang. Dan reaksi aneh dari penduduk kampung ini pula yang kadang membuat Yusuf sedikit menyimpan pertanyaan. Bagaimana tidak, saat ia lagi sedang bermain atau sekedar berjalan-jalan maka orang-orang dewasa khusunya ibu-ibu yang kebetulan melihatnya akan langsung tertegun, dan kemudian akan saling berbisik-bisik satu sama lain.

             “Dia baru aku lihat, anak siapa itu?”
“Ssst.... Anak orang!”
            Maka dia hanya bisa berdiam diri, sebab diam adalah pilihan yang paling terbaik bagi dirinya. Bukannya tidak sadar kalau selama di kampung ini ia menjadi pusat perhatian, akan tetapi dia teramat sadar. Dan ia kembali memilih untuk diam.
            Pesantren, adalah pilihan Aminah untuk memasukkan Yusuf agar bisa belajar agama di dalamnya. Dengan meminta persetujuan suaminya Abdurrahman terlebih dahulu, Aminah semakin mantap hatinya agar putra semata wayangnya ini bisa menjadi orang. Bukan hanya bisa membedakan antara yang hakiki dan bathil, namun tentu tujuan utama Aminah agar Yusuf kelak dapat bermasyarakat dan berjiwa pemimpin. Maka saat itulah Yusuf menimba ilmu di pesantren kota, yang berada jauh dari kampung halamannya di Batu Benawa Barabai.
            Tak bisa dipungkiri, kejadian itu berlanjut kembali. Yusuf dapat merasakan kalau ia selalu menjadi pusat perhatian di tengah teman-teman barunya itu, atau pun dari kakak-kakak kelasnya. Anehnya pula hanya beberapa hari  dengan cepat pula ia begitu akrab dengan mereka. Namun pada kenyataannya bukan Yusuf yang ingin memulai, seakan banyak magnet di dirinya sehingga membuatnya orang-orang di sekelilingnya demikian.
             Anak orang telah menyelami bagaimana rasa hidup dalam penjara suci, yang tak pernah lepas dari kitab kuning dan memakai peci. Tak ada yang namanya wanita, maupun pergaulan bebas seperti dunia luar. Hanya orang-orang sesama jenis itu saja lah yang ditatap setiap harinya. Orang-orang di dalam sana ingin lebih dekat dengannya, sehingga menimbulkan perasaan lebih kepada dia. Dan dia kembali diam menanggapi kelakuan aneh orang disekelilingnya, walaupun sebenarnya ia amat takut karena baru merasakan anehnya kejadian ini menyerang dirinya. Namun dari segi lain ia sadar kalau penyakit ini selalu ada pada setiap pesantren, dan lama-kelamaan akan hilang dengan sendirinya apabila santri itu sudah menyelesaikan pendidikannya. Lebih dari itu sebenarnya dia sangat merindukan keluarganya di kampung halaman, terlebih kepada Ibunya yang memiliki embun penyejuk bagi dirinya. Dia menggenggam rindu teramat sangat.
            Lalu waktu memakan usianya yang menginjak dewasa. Lepas dari kehidupan pesantren membuatnya benar-benar mengerti makna sedikit dari arti hidup. Sehingga keadaan itu membuat dirinya menjadi matang secara fisik maupun mentalnya. Aminah dapat melihat kalau putranya bukanlah Yusuf kecil sepuluh tahun lalu, namun putranya sekarang lebih sempurna di  matanya. Tubuh tinggi dan tegap, serta sepasang mata yang tajam menyerupai elang dihiasi dengan alis yang lebat. Aminah seperti menangkap sosok suaminya dikala bujangan dulu. Dan sepertinya Yusuf memancarkan aura kesempurnaan yang melebihi dari Ayahnya dulu.
            Kampung Batu Benawa lebih berwarna semenjak kedatangan kembali seorang Yusuf yang seperti menghilang selama enam tahun karena harus menimba ilmu selama di pesantren. Dan kali ini penduduk setempat menyadari perubahan sosok yang sangat berbeda dari enam tahun yang lalu, serta keramah-tamahan Yusuf yang memukau tak sedikit membuat orang berdecak kagum dan terpesona. Bahasa tubuh  yang sopan kerap dibawa ketika dirinya keluar rumah untuk membantu Ayahnya mencari ikan atau sekedar jalan-jalan keliling kampung untuk bernostalgia bersama teman-teman bermainnya dulu. Tak pelak begitu banyak para ibu desa yang mengidamkan ia kelak agar bisa menjadi menantu atau kemudian kecewa karena menyadari bahwa tidak memiliki anak gadis yang masih perawan di anggota keluarganya.
            Aisyah, adalah satu dari gadis belia dari kampung itu yang menyimpan kekaguman kepada sosok Yusuf. Dirinya yang memiliki paras yang ayu serta sikapnya yang sopan-santun seperti mempunyai daya tarik tersendiri. Entah kenapa hatinya berdesir hebat dikala berpas-pasan dengan Yusuf di jalan, atau wajahnya akan nampak memerah menyimpan rasa malu ketika Yusuf melempar senyum ke arah dirinya. Aisyah amat heran dengan perasaan aneh yang menyerang dirinya karena ia baru pertama kali mengalami gejolak ini dikala berhadapan dengan lawan jenisnya. Dan tanpa sadar ia mulai mengenal apa itu cinta. Dan rupanya Yusuf dapat menangkap gelagat aneh itu, akan tetapi dia bersikap biasa saja seolah hanya memendam reaksi hangat itu. Diantara gadis lain yang ada di kampung ini, hanya sosok Aisyah lah yang mampu membuka pintu hati kecilnya yang sekian lama tak ada seorang perempuan pun bisa menembusnya. Namun untuk yang kesekian kalinya ia lebih memilih diam. Mereka berdua hanya bisa menyimpan perasaan itu rapat-rapat tanpa ada orang lain yang tahu. Tak ada yang bisa mereka lakukan karena kampung ini masih memegang adat tradisi yang kuat dari jamahan kehidupan kota, yang hanya Orangtua lah yang berhak menentukan kelanjutan dari kehidupan yang baru bagi anak-anaknya.
            Dikala Yusuf sedang bercengkrama dengan Ibunya di beranda belakang rumah, terdengar ucapan salam dari pintu depan rumah mereka. Sontak hati Yusuf senang mendengarnya, tentu saja ia sangat mengenal suara lembut milik seseorang itu. Sejurus kemudian sambil membalas salam ia berjalan tergesa-gesa untuk membuka pintu rumah, dan terlihatlah sosok itu. Paras yang sangat jelita dibaluti dengan kerudung merah nampak menunduk malu. Dengan menenteng rantang makanan gadis itu berkata sopan dan pelan.
            “Bibi Aminahnya ada Bang?” Sosok itu masih menunduk malu.
Sesaat lelaki dihadapannya agak terpana, namun kemudian ia bisa menguasai dirinya.
            “Oh, ya...ya, beliau ada di dalam. Silakan adik masuk dulu.” Balasnya ramah.
Saat ia ingin menuntun gadis itu masuk ke dalam rumah, suara tercekat itu nampak terdengar lirih.
            “Ti...tidak Bang.” Suara itu  membuat Yusuf berpaling kebingungan.
            “Ma’af Bang... Aisyah sedang  terburu-buru, titip makanan ini saja buat Bibi.” Ucapnya pelan.
“Oh, baiklah.” Nampak kehati-hatian tercipta dari perilaku mereka berdua. Seperti ada yang lebih untuk disembunyikan, namun hanya mereka yang mengetahui perasaan itu. Saat Aisyah mohon pamit dan meninggalkan tempat tinggalnya, sepasang mata tajam miliknya entah kenapa mengikuti langkah yang menjauh dari kaki punggung belakang gadis itu. Dan ketika sosok itu sudah menghilang di persimpangan jalan, dengan begitu cepat tangannya yang kekar memungut sebilah ranting dan menggoresakan sesuatu di atas tanah pekarangan rumahnya.
Hatiku meledak...
Tanpa ada seorang pun yang tau.
Sehabis itu ia tersenyum dalam diam. Menggenggam perasaan itu sendiri sambil memandang goresan hatinya di atas tanah. Kemudian ia mendesah, berpikir entah  kapan   impiannya yang satu ini dapat terwujud. Mengingat umurnya sekarang sudah lebih berkepala dua, tentu ia  sudah merasa kesiapan mental yang lebih kuat.
Tak jauh dari tempat itu tanpa sepengetahuan putranya, Aminah sudah lama memperhatikan gerak-gerik putranya ketika berhadapan dengan kembang desa tadi. Dan sejurus kemudian Aminah tersenyum, ia sadar kalau dirinya tidaklah muda lagi.
Suatu ketika kampung  mereka ditimpa bencana banjir tahunan yang sangat parah dari tahun-tahun sebelumnya. Menimbulkan derasnya air sungai tumpah melebihi batas yang normal  sehingga mengakibatkan rumah penduduk banyak yang terendam banjir karenanya. Petaka itu menimpa di kala Aminah dan Yusuf sedang menunggu kedatangan seseorang untuk pulang pada senja itu. Dan saat adzan maghrib berkumandang terjawablah kabar pilu itu, seakan petir menjelma di malam gelap. Aminah menangis histeris mendengar suaminya Abdurrahman terhanyut oleh arus sungai di kala menjala ikan tadi siang, dan lebih memilukan lagi penduduk setempat belum menemukan jasadnya yang hilang. Pada pagi keesokan harinya pencarian dilanjutkan dengan mengerahkan tim SAR yang didatangkan jauh dari kota. Dan pada akhirnya jasad itu ditemukan dengan membiru lebam diseluruh tubuhnya. Aminah semakin lemas tak berdaya  mendapati jasad suaminya yang terbaring kaku di hadapannya. Sedangkan Yusuf menangis dalam diam, mengingat semua kenangan dari seorang Ayah menari-nari di benak kepalanya.
            Sejak peristiwa yang memilukan itu, Aminah seperti orang yang kehilangan kesadaran. Seringkali ia melamun dengan pandangan kosong di beranda rumahnya. Atau duduk melamun sambil bergumam sendiri layaknya berbicara kepada seseorang. Menyadari perubahan tragis dari Ibunya, Yusuf  merasakan pilu yang teramat sangat. Kini Ibunya tidak seperti dulu lagi. Ibu kandung yang ia kenal sekarang terlihat sangat kurus dan kecantikannya terlihat sangat memudar. Dikala Yusuf sedang menyuapi Ibunya maka makanan itu akan disemburkan kembali dari mulutnya. Menambah miris hati anak orang itu menerima kepahitan itu semua. Hingga sosok mulia di hadapannya itu sungguh tidak mengenali lagi semua orang yang berada di sekitarnya. Roda kehidupan seperti memutar cepat dalam dirinya.
            Semakin waktu berlalu cepat, keadaan Aminah semakin tidak menunjukkan adanya perkembangan. Rambutnya yang kusut-masai sering dibiarkan tergerai begitu saja. Garis wajah yang mengerut tak terurus seperti terlalu tua untuk diindahkan. Kadang tertawa sendiri dan seterusnya tangisan pilu yang akan terdengar menyayat hati. Yusuf lah yang selalu ada untuknya. Menemani di setiap apa yang mesti harus ia lakukan. Walaupun sebenarnya perih yang ia rasakan, namun anak orang berusaha tegar menghadapi kenyataan. Ia sadar kalau dirinya rapuh di tengah keputus-asaan. Namun kehadiran Aisyah untuk membantunya seperti ada embun sejuk yang menyelimuti kesedihan itu di sana.
            Nasib naas menimpa seorang warga kampung yang saat itu sedang melewati pekarangan rumah mereka. Tanpa disadari Aminah yang saat itu sedikit lepas dari pengawasan Yusuf  tiba-tiba berontak dan mencelakai warga itu dengan sebatang kayu di tangannya. Semua warga kampung kini tak ada yang berani mendekati dua orang beranak itu, namun dibalik semuanya itu sebenarnya penduduk desa menyimpan rasa kasihan kepada mereka berdua. Maka mendapati kenyataan demikian Aisyah telah dilarang keras oleh Orangtuanya untuk mendekati Yusuf. Aisyah mencoba menjelaskan namun tak ada yang dapat mengerti perasaannya, sehingga dengan hati yang pilu ia keluar dari kehidupan sosok anak orang. Mungkin tidak lama lagi gadis ranum berjiwa besar itu akan dijodohkan oleh Orangtunya  dengan pemuda yang lebih jelas masa depannya.
            Aminah semakin sulit untuk diurus, menelan sesuap makanan pun tak mau ia lakukan. Karena sering mencelakai dirinya sendiri dengan benda tumpul di sekitarnya  maka dengan sangat berat hati Yusuf melakukan tindakan memasung Ibunya di dalam rumah. Dengan meneteskan air mata Yusuf mengikatkan rantai pada kayu balok berlubang itu. Sedangkan yang dipasung terus meronta-ronta sambil meneriakkan ucapan tidak jelas. Lalu kemudian Yusuf tersedu-sedan, sambil memeluk tubuh Ibunya yang sangat kurus itu ia berbisik parau.
            “Aku sangat mencintaimu Ibu. Aku tak ingin engkau terluka lebih jauh lagi...”
Yang dipeluk terdiam kaku seperti menangkap ada aliran sinyal yang merasuki otaknya. Namun setelah itu ia kembali mengoceh sambil tertawa dengan sendirinya.
            Lelaki itu tetap menjadi anak orang dalam kebisuan. Seakan dunia sudah mau runtuh menghantamnya, namun ia tetap memilih untuk diam. Anak orang dari kampung seberang seakan menjadi legenda. Lewat garis hidupnya yang pilu ia ingin bercerita. Dan kemudian tanpa ia sadari waktu berjalan memakan garis sisa usianya.[]

*****
Amuntai, Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar