Jumat, 12 Agustus 2011

Penjara Suci

Penjara Suci
Oleh : Arief Rahman Heriansyah
 
            Aku berjalan mengendap-ngendap menelusuri semak belukar mendekati tembok pembatas pesantrenku. Tanah becek dan malam yang amat dingin sama sekali tidak menghalangi langkahku. Setelah sampai di depan pagar yang menurutku tidak terlalu tinggi ini, kuletakkan kayu balok setengah meter agar kakiku lebih leluasa untuk melompati pagar. Ya, aku akan loncat pagar tengah malam ini. Tapi bukan kabur ke luar pesantren seperti biasanya, melainkan menyusup ke pesantren putri!
            Kulihat bulan di atas sana semakin menampakkan sinar purnamanya. Aku tersenyum mengejek, tiba-tiba saja aku teringat teman-teman di asrama yang semuanya pengecut. Tak ada yang mau mengikuti ide gilaku ini. Ini akan menjadi malam yang menyenangkan, mengintip para santriwati yang tertidur lelap dari jendela asrama-asrama. Tak akan ada yang mengetahui aksiku, karena sudah kupastikan seluruh penghuni pesantren sudah tertidur pulas pada setinggi malam ini.

***

            "Faruq, lekaslah kamu bersiap-siap! Sebentar lagi bel berbunyi."
            Aku yang sedang asyik berkutat dengan HP sedikit terkaget. Rupanya Ahmad temanku sudah siap berangkat ke kelas dengan beberapa kitab kuning tersikut di lengannya.
            "Ah, kamu duluanlah… Masih ada lima menit lagi, Coy…Aku mau ngisep dulu."
            "Ya sudahlah, terserah kamu!" Ahmad berlalu dengan wajah bersungut kesal. Aku terkekeh membuang muka. Kunyalakan sebatang rokok sambil kembali asyik memainkan game di-HP bututku. Ngisep adalah istilah merokok di pesantrenku. Di pojok asrama tepatnya di bawah gantungan baju di situlah tempat favoritku, sambil berjongkok ria. Karena tidak nampak dari penghuni lainnya. Tapi sebenarnya bukan teman-teman satu asrama yang kuhindari, melainkan kalau-kalau ada Ustadz atau Staf OSIS yang masuk ke asramaku untuk kontrol mendadak.
            Suara bel tanda masuk kelas berbunyi menggema seantero pesantren. Aku mendesah kesal. Dengan terpaksa kumatikan rokok yang masih tersisa setengah. Lalu aku bangkit menyiapkan kitab pelajaran pagi ini. Namun sebelumnya aku letakkan dulu HP-ku di sebuah tempat rahasia dalam lemariku yang takkan diketahui oleh siapa pun selain aku.
            Aku setengah berlari menuju ruang kelas sambil merapikan peci dan kancing baju seragam yang tak beraturan. Aku baru ingat kalau pak pertama hari ini adalah pelajaran nahu. Yang mana diajarkan oleh Ustadz paling killer di pesantrenku yaitu Ustadz Zein. Pantas saja tadi si Ahmad mendesak aku agar cepat masuk kelas. Ah, mudahan saja beliau belum masuk. Tapi perkiraanku ternyata salah. Saat aku tiba di depan pintu kelas kulihat Ustadz Zein sudah menghadangku dengan senyuman sinis yang terhias di wajah beliau. Aku merasa lemas. Dengan terbata-bata kuucapkan salam kepada beliau.
            "A..assalamu'alaikum." Aku masih berdiri terpaku di hadapan beliau.
            "Wa'alaikumsalam…" Sesaat hening. Aku tak menyangka ekspresi beliau bisa sedingin ini.
            "Faruq, sudah yang keberapa kalinya kamu terlambat?"
            "A..afwan, ya Ustadz." Lidahku terasa kelu. Tiba-tiba beliau tersenyum yang menurutku agak menakutkan."
            "Kayaknya pagi ini cukup cerah, bahkan bisa dibilang sangat cerah. Nah…Faruq, silahkan kamu berjemur di depan sana. Lepas baju seragammu dan acungkan peci di atas jari telunjukmu."
         Aku tersentak. Setelah itu kudengar ledakkan tawa menggema di seluruh kelas.

***
            Semenjak kecil aku tidak pernah merasakan hangatnya kasih sayang seorang Ibu. Waktu aku berumur dua tahun Ibu telah meninggalkan aku dan Ayah untuk selamanya. Ayah banting tulang bekerja keras setiap harinya sebagai buruh bangunan, tak jarang Ayah pulang larut malam. Karena itulah aku kurang perhatian dan menjadi brutal. Kalau ayah lelah habis bekerja, Ayah lebih sensitif dan sangat suka marah-marah tak jelas apa penyebabnya, tak jarang itu walaupun harus menyakiti fisikku. Karena itulah membuat egoku semakin keras, kenakalanku semakin menjadi-jadi.
            Sehabis lulus sekolah dasar, Ayah memasukkanku secara paksa ke Pondok Pesantren. Al-Jannah. Awalnya aku menolak keras karena aku ingin ke sekolah umum yang lebih leluasa dalam bergaul. Tapi setelah kupikir-pikir, ada baiknya aku turuti kehendak Ayah masuk pesantren agar bisa terbebas dari kekangan dan aturan-aturan beliau. Namun dugaanku ternyata salah besar, di pesantren justru ternyata peraturan lebih ketat. Seiring berjalannya waktu, sudah berapa kali peraturan atau tata-tertib yang aku langgar. Karena aku sangat membenci dengan yang namanya peraturan.
            Kadang aku merasa iri dengan teman-teman di asrama yang sering kali dijenguk oleh Ayah dan Ibunya. Aku tak mungkin dapat merasakan manisnya semua itu. Karena Ibu sudah tiada dan Ayah yang tak punya waktu menjengukku dikarenakan pekerjaannya sebagai buruh bangunan yang tak kenal waktu. Bila aku tak tahan melihat pemandangan menyakitkan itu aku lebih memilih keluar asrama, apa saja yang ingin aku lakukan, asalkan tidak sakit hati melihat kebahagiaan teman-temanku yang dijenguk oleh Orangtuanya.
            Sekarang aku duduk di kelas I Aliyah, yang berarti sudah empat tahun aku bertahan dalam penjara suci ini. Namun semakin tinggi kelas aku bukannya semakin membaik, malah aku semakin tertekan dan aku lebih sering melanggar peraturan. Tak terhitung, mulai dari kedapatan HP, kabur / loncat pagar, merokok, memalsukan tanda tangan Ustadz, atau tidak berjama'ah shalat. Dan sesering itu pula Ayah sering dipanggil untuk mengahadap karena kenakalanku. Ayah marah besar namun tak ada pengaruhnya bagiku karena sudah terbiasa dimarahi olehnya. Tapi anehnya aku tidak pernah mendapat hukuman yang mengharuskan aku untuk berhenti menuntut ilmu di pondok pesantren ini. Mungkin karena kesalahanku bukan termasuk perbuatan yang fatal, seperti mencuri, berjudi, atau menzhalimi sesama teman. Terkadang Ustadz dan para OSIS kewalahan menghadapi ulahku. Sudah berbagai cara mereka lakukan untuk mengubahku, mulai dari sangsian ataupun hukuman berat. Tapi itu tak akan membuat aku jera.
            Lain halnya dengan Ustadz Zein. Entah kenapa aku merasakan atmosfer lain jika waktu berhadapan dengan beliau. Semenjak beliau diangkat menjadi ketua keaamanan Dewan Guru sejak aku kelas III Tsanawiyah lalu, beliau lebih sering memperhatikanku. Tapi aku bingung kenapa aku selalu merasakan ketakutan jika beliau membentak atau marah padaku. Padahal aku sudah sangat biasa jika dimarahi oleh orang lain, siapa pun itu. Kuakui Guruku yang satu ini mempunyai hawa aneh yang sama sekali tidak aku mengerti...

***
            Malam ini tak cerah seperti biasanya. Hujan deras mengguyuri bumi seantero pesantren. Melelapkan semua penghuninya yang asyik dalam peraduan mimpi-mimpinya.  Kilat menyambar-nyambar menampakkan akar cahayanya seperti membelah langit yang suram. Dingin menyeruak. Namun di salah satu asrama yang ada, masih terjaga empat orang santri yang masih asyik bercakap-cakap membicarakan suatu hal. Suara mereka tak akan terdengar santri lain karena ditelan oleh derasnya hujan.

            "Bagaimana?"
Aku kembali bicara setelah mereka terdiam. Di depanku Ahmad, Yahya, dan Edoy tampak berpikir keras.
            "Tapi faruq, ini terlalu beresiko. Aku takutnya..." Belum sempat Ahmad menyelesaikan argumennya, aku menyela.
            "Apa yang kamu takutkan? Bukankah pada setinggi malam itu takkan ada yang mengetahui aksi kita?"
            "Tapi kalau ada Ustadz atau Staf OSIS yang kontrol malam bagaimana?" kali ini Edoy yang angkat bicara.
            "Apa susahnya untuk lari. Malam sangat gelap dan mereka pasti akan sulit menemukan kita."
            "Tapi aku tak yakin bisa lolos semudah itu, Faruq..."
            "Alaah...bilang saja kalau kalian semua takut!" Aku mulai kesal.
            "Kami bukannya takut, tapi memikirkan resiko menyelusup ke pesantren putri itu sangat berbahaya, bahkan bisa dibilang sangat fatal!"
            Dhuaarr...!!! Suara guntur menyambar memekakkan telinga, membentuk kilatan cahaya yang memantul di kaca jendela asrama kami.
            "Sudahlah Faruq... Batalkan saja niatmu itu." Yahya menasehati sambil menatapku nanar.
            "Tidak! Tekadku sudah bulat. Aku sudah bosan hidup di pesantren begini-gini saja."
            "Kalau begitu afwan... Aku tak bisa ikut dengan ide gilamu ini!"
            Ahmad bangkit berdiri menuju kasur tidurnya.
            "Ma'af, aku juga tak bisa. Aku mau tidur." Edoy berdiri menjauh diikuti Yahya di belakangnya. Meninggalkanku sendiri yang terpaku menatap mereka semua.
            "Dasar pengecut!" Aku menggumam kesal.
            Gluduk...Duarr...!!! Suara petir kembali menggema. Kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya.

***

            Aku merapatkan jaket yang membungkus tubuh kurusku, sambil menajamkan telinga kalau-kalau ada penghuni pesantren yang terjaga tengah malam ini. Ah, aman. Semua penghuni pesantren  sudah pasti tertidur lelap di balik selimutnya. Kulirik arloji di tangan kiriku, sudah pukul satu malam tepat. Kurasa sudah saatnya aku beraksi. Kutanjakkan kayu balok itu erat pada tembok pembatas pesantren. Aku sudah siap meloncati pagar ke pesantren putri sebelah. Hup, Kakiku mulai menginjak kayu balok sebelum tubuhku ikut melompat. Tapi tiba-tiba aku kaget karena sekilat cahaya kuning tepat menyinari wajahku.
            "Itu dia! Santri mau loncat ke putri, kejar!!"
            Sial! Rupanya segerombolan Staf OSIS yang kontrol malam menemukakanku. Kakiku turun kembali setelah mau meloncati pagar pembatas tadi. Aku gagal beraksi malam ini. Sejurus kemudian aku berlari sekencang mungkin menerobos semak-semak tinggi di kegelapan malam. Staf OSIS juga tak kalah kencang berlari mengejarku. Aku harus terhindar dari cahaya senter mereka. Aku terus berlari kencang. Napasku tersengal, aku lemas sambil tersandar di samping asrama Malik 7. Tapi mereka semakin dekat, sehingga memaksaku untuk kembali lari. Aku mau kembali ke asrama tapi semua asrama sudah pasti dikunci setinggi malam ini. Tujuanku satu-satunya agar terlolos dari mereka cuma WC! Ya, aku bisa menyelamatkan diriku mengumpet di sana. Kalau azan subuh mulai menggema baru aku akan keluar dari tempat persembunyianku. Kakiku sudah amat lelah, kupaksakan untuk bangkit walaupun setengah berlari tertatih-tatih, sambil sesekali melihat ke belakang. Aku masih saja lari walaupun aku juga merasa kantuk mulai menyerangku.           
Brug! Aku kaget karena menabrak sesuatu sosok bertubuh besar. Setelah kupastikan siapa sosok sosok bertubuh besar yang mengenakan sorban di bahunya itu ternyata adalah Ustadz Zein! Aku meneguk ludah, kerongkonganku terasa tercekat.
            "A...Ustadz..?!"

***
        Suara bel menggema tanda pelajaran pertama dimulai. Aktifitas sekolah berjalan seperti biasanya. Pagi ini sangat cerah, tapi hatiku tidak secerah mentari pagi ini. Di ruangan khusus kantor Ma'had, aku duduk lesu menatap seisi ruangan kecil ini. Sesungguhnya tempat ini sangat tidak asing lagi bagiku, karena aku sudah sangat sering disidang di tempat ini. Di sampingku Ayah duduk juga tak kalah gelisahnya sepertiku. Beberapa kali Ayah menyapu peluh di pelipisnya. Tak lama kemudian Ustadz Zein masuk ruangan dengan membawa beberpa berkas di lengannya. Setelah menjabat tanganku dan Ayah kemudian beliau duduk di hadapan kami berdua. Deg! Lagi-lagi aku merasakan hawa ketakutan yang luar biasa saat Ustadz Zein tersenyum ke arahku. Hening sesaat. Sebelum membuka percakapan Ustadz Zein menatap Ayah lamat.
        "Begini Pak Rustam, Bapak dipanggil ke sini karena anak Bapak lagi-lagi melakukan kesalahan, yaitu melanggar peraturan Pondok."
Kulihat Ayah mengangguk lemah.
        "Iya, saya tahu Pak Ustadz."
        "Namun kali ini kesalahan anak Bapak sangat fatal. Anak Bapak telah berani mencoba loncat pagar dan menyelusup ke pesantren putri sebelah."
Ayah terdiam lemah. Matanya sendu menatap ke bawah. Sedangkan aku berusaha menahan kecamuk dalam dada. Sesungguhnya aku dapat merakan kesedihan di hati Ayah. Tanpa kusadari keringat dingin membasahi tubuhku. Entah sangsian apalagi yang Ustadz Zein tetapkan kepadaku sesaat lagi.
        "Padahal Faruq sudah termasuk kelas tinggi di pesantren ini. Seharusnya semakin tinggi kelas ia lebih bisa bersikap dewasa dalam membawa diri. Tapi bukannya ia lebih bisa mengontrol dirinya, justru sikapnya semakin brutal. Saya paling marah jika ada anak santri yang malas untuk masuk kelas untuk belajar. Sedangkan Faruq sangat suka membolos, kalau pun ia hadir bahkan itu pun juga terlambat. Saya tak habis pikir kenapa ia suka menyia-nyiakan masa pendidikan yang sangat berharga untuknya itu. Sekali lagi saya sangat menyayangkan sikap tolerannya."
        "Saya juga bingung pak Ustadz...Padahal saya sudah berusaha mungkin mendidiknya di rumah."
Ah, bohong! Ayah tak pernah perhatian denganku di rumah, apalagi mendidik aku.
Aku menahan kesal dalam hati sambil memperhatikan percakapan Ayah dan Ustadz.
            "Ini sudah terlalu sering anak Bapak melanggar peraturan. Mulai dari merokok, membawa HP, loncat pagar, tidak berjama'ah sholat, bolos sekolah. Tidak terhitung lagi anak Bapak melawan semua peraturan itu. Namun anehnya sangsian seberat apa pun tak bisa membuatnya jera juga untuk bersikap lebih baik."
            Kembali suasana hening menyelimuti kami.
            "Dalam dokumen berkas ini, sudah lima kali lebih Faruq melakukan pelanggaran. Dan untuk kesalahan yang satu ini sudah sangat fatal. Kami para Dewan Guru juga sudah kewalahan menghadapinya. Maka itu dengan terpaksa dan berat hati..."
            Deg...deg..! Entah kenapa aku merasakan seperti sebuah jarum tepat menyerang ulu hatiku. Aku bingung ada apa dengan perasaanku ini. Kutatap wajah ustadz Zein dengan penuh harap.
            "Maka itu dengan terpaksa dan berat hati, Faruq kami kembalikan kepada Bapak alias diberhentikan..."
            Ayah yang semula menunduk langsung refleks menatap wajah Ustadz Zein. Beliau tersentak kaget dan Ustadz Zein kembali mengangguk memastikan ucapannya tadi adalah keputusan terakhir. Sedangkan aku langsung lemas. Aku seperti kehilangan seluruh tonggak penahan di tubuhku, aku merasa rapuh sekali.
            "Tidakkah Pak Ustadz bisa memberi hukuman yang lain agar anak saya bisa tetap bersekolah di sini? Saya tidak tahu lagi harus menyekolahkan anak saya dimana jika diberhentikan di Pesantren ini. Saya mohon Pak ustadz! Berilah keringanan kepada anak saya."
            Ayah berusaha mengiba kepada Ustadz Zein. Namun Ustadz Zein menggeleng lemah.
            "Ini sudah keputusan kami... Anak Bapak sudah terlampau jauh melawan tata-tertib pesantren. Sepertinya dia tidak betah hidup di sini."
            "Tidak Pak Ustadz! Saya yakin anak saya betah sekolah di pesantren ini. Mungkin dia kurang perhatian saja karena Ibunya sudah lama meninggal. Dan saya juga tak bisa memberikan didikan kepadanya penuh karena saya tak bisa meninggalkan pekerjaan saya."
            Ayah kembali berargumen keras. Aku ngerti kalau Ayah berusaha agar aku masih bisa terselamatkan dan tetap bisa bersekolah di sini. Tapi aku bingung kenapa Ayah baru menyadarinya kalau dia tidak ada perhatian denganku? Sedangkan aku sudah lama menantikan semua itu. Menanti dengan penuh harap akan belaian kasih sayang seorang Ayah yang hangat. Yang selalu aku rasakan saat Orangtua Ahmad, yahya, maupun Orangtua Edoy yang datang menanyakan kabarku dan sesekali mengelus kepalaku. Namun Ayah tak pernah sama sekali mengelus kepalaku lembut, kenapa?
            Ustadz Zein menatap nanar kepadaku. Ada suatu perasaan halus yang memancar saat beliau menatapku tepat di manik mata.
            "Nak Faruq... Coba kamu jujur. Apakah kamu masih ingin bersekolah di sini?"
Beliau bertanya lembut kepadaku. Sejurus kemudian aku mengangguk cepat, padahal aku bingung kenapa langsung saja repleks mengangguk menanggapi pertanyaan beliau.
        "Iya Ustadz... Saya masih ingin sekolah di pesantren ini. Saya tak ingin diberhentikan. Saya kasihan dengan Ayah..."
        Ada gurat kekagetan di wajah ustadz Zein dan wajah Ayah saat aku mengucapkan kalimat tadi. Entah apakah yang mereka rasakan, yang jelas jujur aku masih ingin bersekolah di pesantren ini.
        "Pak Rustam... coba bapak letakkan tangan Bapak di atas meja."
Aku tak mengerti apa yang Ustadz Zein bicarakan. Ayah nampak kebingungan dengan perintah itu. Namun sesaat kemudian Ayah menurut dan meletakkan tangan beliau di atas meja.
        "Nah...Faruq, coba kamu letakkan tanganmu juga di atas meja ini." Aku langsung menurut, tanpa belum kumengerti apa maksud ustadz Zein dibalik semua ini.
        "Faruq, coba kamu bandingkan... Lebih kasar mana tanganmu dan tangan Ayahmu?"
Aku bingung. Tentu saja jauh lebih kasaran tangan Ayah daripada tanganku. Lalu apa maksud Ustad Zein? Kulihat Ayah cuma terdiam seribu bahasa. Kembali kami bertiga diselimuti keheningan.
        Tiba-tiba Ayah menangis. Aku kaget, seumur hidup baru kali ini kulihat ayah menangis. Tangisannya sangat terdengar pilu di telingaku dan hatiku sangat sedih mendengarnya. Kulihat Ustadz Zein juga menunduk sedih. Aku semakin bingung ada apa ini. Namun entah kenapa aku juga merasakan kesedihan yang amat sangat. Seperti kontak batin antara Ayah dan anak, air mataku juga jatuh perlahan menganak sungai di kedua pipiku. Sudah sangat lama aku tidak menangis, padahal aku bingung kenapa aku harus menangis.
        "Tidakkah kamu sadar Faruq? Ayahmu banting tulang setiap hari melakoni pekerjaannya sebagai buruh bangunan yang kasar. Hingga semua itu harus membuat tubuhnya penuh dengan goresan kerasnya kehidupan. Kamu lihat tadi betapa kasarnya tangan Ayahmu, seperti cermin yang memantulkan betapa kerasnya perjuangan beliau agar bisa membiayaimu sekolah di sini."
Aku mengangguk lemah sambil menyeka air mata yang tak berhenti membasahi pipiku.
        "Nah, maukah kamu berjanji kepada Ayahmu agar tidak lagi membuat kesalahan dan memperbaiki kesalahani dirimu? Kalau kamu mau berjanji, Ustadz akan mencabut keputusan tadi dan membiarkanmu agar tetap bisa bersekolah di sini."
        "Saya mau ustadz....Saya mau! Saya tidak mau lagi melanggar peraturan. Saya akan memperbaiki semua kesalahan yang pernah saya lakukan. Saya..." Terhenti dalam sedu sedan.
        Hingga akhir itu, berakhirlah semua kenakalanku. Saat itu pula Ayah lebih sering memperhatikanku selayaknya Ayah yang sangat mencintai kepada anaknya. Kulangkahkan mantap hatiku menimba ilmu di Pesantren. Tempat yang kuanggap seperti Penjara Suci tempat tinggalnya para santri penerus bangsa di Tanah Air ini. Melahirkan kader-kader yang bisa diandalkan dalam masyarakat maupun dalam agama. Masih kokoh berdiri disana, pesantren yang membuatku mengerti sepenuhnya arti kehidupan. Memberiku sebuah arti kebersamaan, keruhanian batin, serta pentingnya pendidikan. Tak dapat kubendung setelah aku tamat belajar di sana, masih aku rasakan suasana semua aktifitas para santri yang ceria. Berebut antrean makan, berlari-lari setelah pulang sekolah, khusuknya saat pengajian di mushala. Masih banyak lagi manis yang aku rasakan saat aku hidup di Penjara Suci ini.

***
        Dua puluh tahun kemudian...
 
        Aku menutup percakapan di telepon. Kuhirup secangkir kopi hangat buatan Isteriku. Sambil menyalakan remote TV, kuhirup kembali kopi hangat dengan nikmat. Kupandangi jendela pagi hari yang cerah ini, menimbulkan sebuah déjà vu yang tak aku mengerti. Tiba-tiba aku dihampiri Afif putera sulungku yang baru saja meraih peringkat pertama di kelulusan SD. Wajahnya tampak sumringah.
        "Ayah, kapan kita berangkat ke sana? Aku sudah tak sabar lagi."
        "Ya, nanti besok kita berangkat. Ayah juga rindu ingin ke sana, ada seseorang yang ingin Ayah temui nanti."
        "Hore..! Ayah janji ya." Aku mengangguk sambil tersenyum hangat kepada anakku.
Sekarang aku sudah sukses bekerja menjadi Direktur Utama pada perusahaan pembangunan. Kemarin aku sangat terkejut saat anakku minta di masukkan ke Pesantren tempatku menimba ilmu dulu. Tentu aku sangat senang mendengarnya. Dengan senang hati aku menuruti permintaannya.
        Ah, sudah lama masa-masa itu. Saat aku dalam proses pendewasaan. Masih aku rasakan pada saat ini. Kupejamkan mataku sambil tersenyum. Bagaimana kabar Ustadz Zein sekarang? Sudah tak sabar aku ingin menemuinya besok nanti. Ingin kupeluk dan kucium tangan beliau. Semoga beliau dalam keadaan baik-baik saja.
Ingin rasanya aku kembali pada masa indah itu. Aku tersenyum, mungkin anakku akan menjadi generasi pejuang ilmu agama selanjutnya. Ah.. penjara suci, menyisakan sebuah senandung kerinduan yang tak tertandingi.

        Penjara Suci,
        Mei 2011
        Ket: Juara I Lomba Cerpen Hardiknas antar SMA se-derajat tingkat Kalimantan Selatan

Jejak Rumah Lanting

Jejak Rumah Lanting
Oleh:Arief Rahman Heriansyah
 
 
            Barangkali rumah-rumah lanting itu tampak oleng oleh derasnya musim penghujan pada musim ini. Atau bisa juga atap rumbianya terlihat sangat kering seperti kerangka dedaunan mati karena kejamnya musim kemarau yang melanda para petani pada umumnya, atau para pengrajin tradisional di desa ini. Notabene rumah penduduknya entah kenapa selalu tertajak atau lebih cenderung tepat mengapung di pinggiran sungai keruh yang membentang lebar di sisi jalan desa. Perihal ini tentu juga memudahkan oleh Ibu rumah tangga yang menyuci pakaian dan sekedar keperluan MCK lainnya.
          Zubaedah masih termanggu duduk di belakang pelataran rumahnya. Kali ini dia malas manjurai seperti halnya yang ia lakoni pada setiap harinya. Atau menyulam lampit dan anyaman tikar pun terasa enggan, entah kenapa rasa malas membuat tangannya berat untuk mengerjakan sesuatu.
            Sesekali ia usap kepala Anisa, si bungsu yang tertidur pulas di samping tubuhnya. Rumah agak sepi karena satu anaknya yang lain pergi sekolah. Beruntung pemerintah menerapkan sekolah gratis bagi pendidikan sekolah dasar, sehingga tidak membuat Zubaedah pusing untuk memikirkan biaya. Sedangkan anaknya yang tertua; Rahman yang menginjak umur tujuh belas tahun, pergi ke kota ikut saudara almarhum suaminya bekerja.
            Sunyi kembali menyelimuti pikirannya. Ia sesekali mengusap peluh di lehernya yang jenjang. Musim kemarau kali ini terlalu panas dari tahun-tahun sebelumnya.Sesekali suara bising kapal kelotok yang lewat di sungai belakang rumah memecah keheningan. Zubaedah menahan napas, dadanya terasa sesak. Bagaimana pun ia masih terngiang perkataan lelaki itu malam tadi.Walaupun Zubaedah sudah berapa kali menepisnya.
 
*****
 
            “Sudahlah Zubaedah, akhiri saja masa jandamu. Menikahlah denganku.”
            Wanita itu terdiam sambil menggendong Anisa di pangkuannya. Dia tersenyum samar memandang lelaki di depannya ini. Lelaki yang tentu berpunya, sebab mempunyai tanah berhektar-hektar luasnya. Sekaligus orang terpandang dan terkaya di kampung ini. Ini sudah yang kesekian kalinya H.Ma’mun bertandang ke rumahnya, cuma untuk merayu atau selebihnya memaksa agar dia bersedia menikah dengannya. Kali ini H.Ma’mun datang bersama salah satu ajudannya, yang siap ikut andil bicara kalau Bosnya kehabisan kata-kata.
            “Bayangkan, rumahmu yang hanya terbuat dari kayu lapuk ini akan kuubah menjadi beton! Kau tak perlu lagi bekerja serabutan setiap harinya. Dan, oh…aku lupa siapa nama anak tertuamu itu?! Rahman, ya..ya! Dia tak perlu lagi bekerja tak jelas di kota sana. Akan ku sekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi .Apakah semua itu tidak cukup untukmu, Zubai?”
            “Iya Bu Zubai. Kurang apalagi H.Ma’mun ini. Rugilah kalau kau tidak menikah lagi. Lagi pula parasmu masih elok nian dipandang.” Timpal ajudan yang tidak mau kalah dengan kata-kata pujangganya. H.Ma’mun sambil sesekali melempar senyum. Entah kenapa Zubaedah merasa jijik melihat senyum yang ia rasa sangat aneh itu.
            “Aku cuma kasihan denganmu, Zubai…”
            “Sudah cukup, Pak!!!” Wanita itu terengah-engah. Habis sudah kesabarannya.
            Hening.
            H.Ma’mun bersitegang. Ia tak menyangka kalau wanita di hadapannnya ini juga bisa marah. Tak bisa dipungkiri, Zubaedah sudah muak dengan akal rayu yang H.Ma’mun lontarkan sesering ini.
            “Saya tidak butuh belas kasihan Bapak. Saya bisa mengurus dan menafkahi ketiga anak saya sendiri. Sekarang Bapak keluar dari rumah saya.!!’ Zubaedah naik pitam. Tanpa ia sadari refleks mengusir H’Ma’mun dan ajudannya.
            “Ta...tapi,Zubai…”
            “Sudah…Bapak sebaiknya cepat keluar!” Suara Zubaedah semakin meninggi, sehingga membuat Anisa yang ada di pangkuannya  mena gis keras karena ketakutan.
            “Oke , saya akan keluar. Tapi tunggu..”
H.Ma’mun terlihat sedang merogoh sakunya. Setelah itu terlihat beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah di tangannya.
            “Terimalah ini. Untuk keperluan anak-anakmu…
            “Tidak usah! Sudah saya bilang kalau saya mampu menafkahi anak-anak saya sendiri!” Zubaedah menampik uang yang diserahkan H.Ma’mun.
            “Tapi saya cuma mau meringankan bebanmu!”
            “Sudah, saya bilang Bapak keluar! Urus saja kedua isteri Bapak yang lain. Tak usah mencampuri urusan kehidupan saya!” Zubaedah terisak. Mau tak mau H.Ma’mun memasukkan kembali uang itu ke kantongnya dan mengalah berjalan keluar rumah. Sekarang ia gagal kembali merayu seorang janda kembang, yang juga masih sangat cantik walaupun sudah beranak tiga.
            Zubaedah terduduk lemas sesenggukan. Sambil memeluk erat Anisa yang juga menangis, tak tahu apa yang sedang terjadi dengan Ibunya.
 
*****
 
            Zubaedah menghamparkan anyaman di bantaran halaman rumahnya untuk dijemur. Siang ini terasa menyengat sampai ke ubun-ubun kepala, namun tak membuat urung wanita itu untuk enggan mengerjakan aktifitas sehari-harinya. Zubaedah memang termasuk wanita pekerja keras dan ulet.           
            "Assalamu'alaikum Uma!”         
            Zubaedah menoleh sembari membalas salam kepada anak perempuannya yang baru datang dari sekolah. Dengan takzim Halimah kecil mencium tangan Ibunya.
            "Bagaimana pelajaranmu hari ini, Nak?” Tanya sang Ibu ramah.            “
            “Ma, hari ini ulangan matematika Imah dapat sepuluh lagi!” Ucap Halimah anak kedua Zubaedah yang sudah duduk di bangku kelas tiga SD. Zubaedah tersenyum lembut sambil membelai kepala anaknya.
            “Rajin-rajin ya belajarnya. Oh, Uma baru ingat kalau persediaan beras sudah habis. Uma mau ke pasar dulu sebentar. Jaga Anisa dirumah ya.” Halimah anaknya mengangguk takzim. Sambil merapikan kerudung birunya yang kumal, Zubaedah bergegas melangkah menuju ke pasar.
            Pasar Sanayan Tabudarat. Begitulah orang-orang sering menyebut pasar tradisional ini. Pasar yang terletak di sebuah desa Hulu Sungai Kalimantan Selatan, berbagai bahan pangan maupun kerajinan tradisional tersedia disini. Biasanya para penjualnya adalah kaum hawa, namun tak jarang juga sekarang banyak pedagang laki-laki yang ikut menawarkan barang dagangannya.
            Zubaedah berjalan pelan menulusuri keramaian pasar. Banyak para pedagang menawarkan barang yang mau dijual kepadanya, tapi Zubaedah tolak secara halus karena yang ia perlukan bukan barang dagangan mereka. Sesekali wanita itu tersenyum kepada orang-orang yang berselisih arah jalan. Sampai akhirnya tibalah ia di muka toko sembako untuk membeli keperluannya.
        Setelah membeli beras dan gula Zubaedah berpikir untuk segera pulang. Karena ia baru ingat kalau kedua anaknya di rumah belum terisi perut mereka dari siang tadi. Apalagi hari sudah mau sore. Namun tiba-tiba hidung Zubaedah mencium bau sesuatu; bau cempedak. Rupanya sudah musimnya bulan ini, pikirnya. Zubaedah tersenyum. Lalu secepatnya ia mencari sumber bau harum itu. Ia pikir tak ada salahnya untuk membeli satu buah cempedak saja untuk disantap bersama Halimah anakmu di rumah, ia pasati suka. Lagipula masih ada sisa uang untuk membeli kebutuhan yang lain bila-bila suatu saat dibutuhkan. Lalu Zubaedah menuju ke arah toko buah-buahan itu. Toko itu agak besar mengarah panjang kebelakang. Setelah sampai Zubaedah langsung menimbang-nimbang satu buah cempedak untuk merasakan buah yang mana isinya paling pas masaknya untuk dimakan. Namun setelah mau memanggil penjaganya, Zubaedah tertegun. Matanya menangkap sosok yang tak asing lagi bagi dirinya.
            Zubaedah tersentak kaget. Entah kenapa perasaannya langsung tak enak. Disitu terlihat H.Ma’mun sedang  mengobrol dengan penjaga toko yang rupanya masih muda dan cantik. Sesekali tangannnya usil mencolek pinggang penjaga toko itu. Namun kemudian H.Ma’mun menyadari keberadaan Zubaedah. Ia sangat terkejut dengan sosok wanita itu dihadapannya. Sejurus kemudian Zubaedah langsung meletakkan kembali cempedak ditangannya dan langsung bergegas untuk menjauh.
            “Dasar lelaki mata keranjang!” Gumam Zubaedah kesal. Ia langsung bergegas cepat.
            “Zubai, tunggu!!” Cepat-cepat H.Ma’mun bangkit dan berusaha mengejarnya. Namun sepertinya langkah Zubaedah terlau gesit untuk dikejar tubuh lelaki yang bertubuh gempal itu.
 
*****
            Zubaedah mempercepat langkahnya menuju rumah. Pikirannya kalut. Entah kenapa kepalanya terasa sangat pusing dan ia merasa mual. Tanpa ia hiraukan lagi kalau Halimah anaknya tengah menunggu di depan rumah.
            “Uma…!!”
            Halimah berlari keluar rumah menyongsong Ibunya. Matanya sembab, Zubaedah agak kebingungan. Dengan tergopoh-gopoh ia menghampiri anaknya yang seperti mau menangis.
            “Imah, ada apa sayang?” Zubaedah bertanya lembut, namun wajahnya juga nampak kebingungan.
            “Uma…si Anisa mati lamas di belakang rumah!!”  
Deg! Hati Zubaedah tersentak, serta merta ia berlari masuk ke dalam rumah. Menerobos ruang tengah menuju dapur, lalu ke arah pelataran belakang rumah. Mata Zubaedah menyapu seluruh keadaan. Saat itu sebuah kapal kelotok melaju sehingga menimbulkan riak arus sungai di belakang rumah mereka. Saat itulah mata Zubaedah melotot. Di situ, tepat dihadapan penyangga rumahnya, tubuh Anisa  mengambang tertulungkup di bawah sana. Hati Zubaedah seketika gemuruh.
 
*****
 
            Zubaedah berkabung duka senja ini. Segerombolan para pelayat turut mengantarkan jenazah Anisa anaknya sampai ke pemakaman. Zubaedah menangis terisak-isak. Di sampingnya, Halimah dan Rahman anak tertuanya turut bersedih atas kematian adik mereka secara mendadak. Banyak kerabat yang turut berduka-cita dan menyemangati agar keluarga itu tabah menghadapi cobaan ini. Tak jauh dari para pelayat itu, tanpa zubaedah sadari H.Ma’mun memperhatikan dari jauh. Entah kenapa ia tersenyum melihat kesedihan Zubaedah senja itu.
            Malamnya Zubaedah memaksa Halimah untuk bicara. Mengapa kejadian tragis itu sampai-sampai terjadi kepada anak bungsunya Anisa.
             "Siapa yang mendorong adikmu ke sungai belakang? Imah, coba jujur kepada Uma."
Zubaedah memegang erat kedua lengan Halimah. Zubaedah menatap anaknya tepat di manik mata. Sesaat Halimah tampak kebingungan, namun ia menyadari bahwa cuma darinyalah sang Ibu bisa meminta pengharapan. 
              “Dua orang bertubuh besar, Ma! Mereka tiba-tiba masuk ke rumah dan salah satu dari mereka langsung menggendong Anisa yang saat itu tidur. La…lu dia melempar tubuh Anisa ke sungai. Imah saat itu mau teriak, tapi temannya yang satu lagi membekap mulut Imah…” Halimah bercerita dengan tubuh gementar. Tampak sampai saat ini ia masih trauma dan ketakutan.
            “Apakah kamu mengenali wajah mereka, sayang?” Rahman anak tertua Zubaedah ikut menanyai adiknya. Bagaimana pun ia masih belum terima atas perlakuan kasar yang dilakukan kepada adiknya Anisa.  Zubaedah merasa menemukan titik terang.
            “Tidak, Ka… Wajah mereka ditutup pakai sarung. Tapi tubuh mereka tinggi & besar.”
Halimah menuturkan semuanya dengan polos. Zubaedah menghela napas. Bagaimana pun ia tak bisa menyalahkan Halimah karena  tidak bisa menjaga adiknya. Karena terlalu riskan dengan pelaku  kejahatan yang tak sebandikng dengan Halimah yang saat itu sendirian
*****
 
            Sudah hampir dua Minggu semenjak kejadian itu. Zubaedah masih belum tau siapa pelaku penyebab kematian anaknya. Tak ada yang bisa diminta bantu, lagipula Zubaedah sadar kalau dia hanya orang kecil tak berpunya. Hingga akhirnya ia ikhlaskan kepergian anaknya untuk selamanya. Zubaedah mulai bangkit menata kehidupan yang baru setelah dirundung rasa sedih berkepanjangan.
            Sampai saat ini juga H.Ma’mun terus melancarkan aksinya. Berbagai cara untuk membujuk Zubaedah agar mau menikah dengannya. Bahkan H.Ma’mun mau bersumpah untuk menceraikan kedua isterinya terdahulu. Namun Zubaedah tetap pada pendiriannya, selalu berpegang teguh dengan cinta kepada almarhum suamimu dulu. Baginya cukup anak-anaknya yang senantiasa menemani setiap saat dan waktu. Bagi Zubaedah mereka adalah harta yang tak ternilai harganya dari apapun di dunia ini.
 
*****
 
            Zubaedah mengeratkan ikatan tali pada lunta dan anyaman di perahu reyotnya. Satu-satunya barang peninggalan suaminya yang sangat Zubaedah jaga dengan segenap hati. Zubaedah akan berangkat ke desa seberang pagi ini. Menjual dagangan kerajinan tangan yang ia kerjakan berminggu-minggu lamanya. Pendapatan di desa seberang memang lebih besar daripada di kampungnya sendiri. Karena banyaknya persaingan, Zubaedah merasa lebih baik menjualnya ke desa orang lain.
            Halimah turut membantu merapikan dagangan yang hendak sang Ibu bawa. Rahman anak tertuanya tadi pagi telah kembali ke kota untuk bekerja. Sehingga hanya Halimah lah yang menemani Zubaedah di rumah. Lalu Zubaedah berpesan kepada Halimah anaknya agar menjaga rumah selama ia bepergianKarena perahu siap ia kayuh untuk berlabuh.
            Lantas Zubaedah teringat kembali dengan perlakuan nekat H.Ma’mun tadi malam. Ia datang menemuinya hanya untuk mengatakan kalau dia sudah menceraikan kedua isterinya. Lalu apa pula hubungannya denganmu pikir Zubaedah. Tanpa diceraikannya pun tak berdampak pula baginya .Namun H.Ma’mun bersikeras agar ia menerima lamarannya. Namun beruntung ada Rahman yang bertindak menyuruh H.Ma’mun agar berhenti merayu Ibunya karena itu akan sia-sia belaka. Ia katakan kalau Ibunya takkan menikah untuk yang kedua kalinya
            Zubaedah  terjaga dari lamunannya saat Halimah ingin menjabat mencium tangannya. Ia katakan kepada Ibunya untuk hati-hati di jalan dan cepatlah pulang sebelum petang. Lalu Zubaedah mulai mengayuh perahu menjauh dari pelataran belakang rumah lantingnya. Tampak Halimah melambaikan tangannya dengan riang, seraya mendo’akan Ibunya agar selamat sampai ke tujuan. Zubaedah kembali menerawang, baginya cinta sejati hanyalah satu kali dalam umur, dan itu akan ia pegang teguh sampai mati.
Rumah semakin menjauh dari pandangannya, namun Halimah tetap melambaikan tangan kepada Ibunya. Saat itulah, tanpa Halimah sadari ada sosok besar berkelebat di belakangnya dan siap mendorongnya ke sungai.
 
 
    Penjara Suci,
     1 Mei 2011

Sakura di Perbatasan

Sakura di Perbatasan
Oleh: Arief Rahman Heriansyah
 
            Suatu sore yang lembut. Dua ekor burung merpati terbang indah mengitari halaman rumah sederhana itu. Salah satu dari keduanya lalu hinggap di batang pohon sakura yang seluruh batangnya kering dan tinggal hanya beberapa helai daun saja di ujung tangkainya. Walaupun musim dingin masih lama akan datang, namun angin yang berembus amatlah terasa dingin. Sepertinya semua itu tak berlaku bagi kau, seorang gadis belia yang duduk di bangku halaman sana. Kau masih terpaku menyaksikan dua ekor burung yang sedang asik bersenda gurau. Tanpa memerhatikan kimono yang kau kenakan agak tersingkap karena diterpa angin lembut pada musim gugur ini
            “Ayumi! Sedang apalagi kamu melamun sepanjang sore ini?!” Kau tersentak kaget, serta-merta kesadaran kau pulih kembali dari ruang khayalmu tadi. Seorang wanita setengah baya melintas menuju kolam ikan di pekarangan rumah. Kau sekilas menoleh kepada Ibumu yang hendak memberi makan ikan koi, ikan yang selama ini dianggap sebagai simbol keberuntungan bagi pemiliknya. Kau mendesah pelan, tak menggubris teguran ibumu tadi.
            “Cepatlah masuk rumah! Kalau kamu masuk angin siapa pula yang repot? Kamu harus siap-siap karena malam ini keluarga kita akan ikut festival.”
            Sekali lagi ibumu mengomel. Namun kali ini gurat wajahmu cerah tiba-tiba. Kau teringat suatu hal yang sangat penting! Sejurus kemudian kau bergegas bangkit masuk ke dalam rumahmu yang berlantai tatami, melintasi ruang tamu keluarga. Kau lihat ayahmu masih asik membaca Koran Yamiori, koran harian Jepang. Sedangkan kakekmu malah sedang sibuk mengerjakan origami dari kertas-kertas di ruang keluarga. Ah, apa peduli kau?
            Kau terlihat menggeledah lemari pakaianmu. Memilih busana dan aksesoris terbaik untuk dipakai malam ini. Sampai akhirnya kau pilih sebuah kimono merah muda berbawahan panjang hingga mata kaki. Sebuah  busana yang lembut dan pantas pikirmu.
            Hingga tibalah saatnya, waktu malam yang cerah. Langit bertaburan sejuta bintang dan purnama nyaris sempurna, menyiratkan sebuah arti. Kau siap dengan anggota keluargamu berangkat ke pusat keramaian. Dengan berjalan kaki karena jarak yang dituju tidak terlalu jauh dari tempat tinggalmu. Sekali lagi kau memperhatikan sosokmu sendiri. Kimono merah muda bermotif pohon kriptomeria yang kau kenakan sungguh membuatmu sangat manis dan anggun, ditambah bando merah yang merekat di kepalamu. Kau tersenyum-senyum sendiri, entah apakah makna dari senyummu itu.
            Kakek Yamada memimpin berjalan di depan bersama ayahmu. Sedangkan kau berjalanan beriringan diapit oleh ibu dan nenekmu. Wajah mereka juga tampak cerah seperti halnya kau sendiri. Menyambut acara festival matsuri yang selalu diadakan di daerahmu setiap tahun.
            Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut Kunchi. Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi, dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar tradisional beraneka macam menjual makanan dan permainan.
            Setelah sampai di tempat tujuan, kau terkesima karena orang-orang yang datang sangat banyak dan lebih ramai dari perkiraanmu. Lampu terang bergantungan dimana-mana. Anak-anak berlarian saling kejar-mengejar saking riangnya, tampak di tangan mereka memegang mainan kayu berbentuk bangau. Kau lantas ikut senang menyaksikan semua itu. Ayah dan kakek segera menuju ke kuil untuk berdo’a bersama warga lainnya. Sedangkan kau bersama ibu dan nenek sangat menikmati suasana di pasar tradisional. Sesekali kau mengalihkan pandangan pada para penari yang diiringi lelaki tua yang memainkan musik hayashi.
            “Semua ini mengingatkan nenek pada masa muda dulu…Berjalan bersama kakek di tengah keramaian sambil makan gula manis yang sangaaat besar.”
            Nenekmu membuka percakapan. Ibumu tersenyum sambil sesekali tertawa kecil mendengar ocehan nenek yang selalu ceria. Kau juga turut tersenyum karena kau pikir tak ada salahnya untuk bernostalgia.
“Ayumi, kapan kamu mulai masuk kuliah lagi?” Ibumu berkata pelan menyeringai. Kau tergagap karena dari tadi kau melamun. “Besok lusa liburan sudah usai, Bu. Aku akan masuk kuliah lagi.” Ucapmu mengangguk pasti. 
Orang-orang semakin ramai berseliweran di sekitarmu. Ibu dan Nenekmu semakin larut dalam suasana. Tapi kali ini kau agak gelisah. Jam di tanganmu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh menit. Namun tak tampak olehmu akan kedatangannya. Kau semakin gelisah. Kedua matamu menyapu pandangan setiap orang di sekeliling, berharap menemukan dia…Ada yang harus kau ungkapkan.
            “Ada apa cucuku? Mukamu tampak seperti orang sakit.”
            Kau kaget, namun secepatnya kau menggeleng dan tersenyum, seolah-olah semuanya baik-baik saja. Namun ibumu menangkap sesuatu yang tak beres di wajahmu.
            “Ayumi, ada masalah?” Kau gugup dan mukamu pucat pasi.
            “Tak apa-apa, Bu. Aku mau ke toilet dulu sebentar.” Kau secepatnya berlari meninggalkan keramaian, tanpa kau hiraukan pandangan heran Ibumu yang geleng-geleng kepala melihat tingkah anehmu.
 
*****
 
            Tak jauh dari tempat festival, kau tergesa-gesa berlari menuju ke tempat itu. Tempat yang mengingatkanmu pada semua kenangan. Dari jauh pohon itu sudah nampak walaupun daun-daun tak kelihatan lagi menghias batangnya. Kau lega, sebab ia sudah berdiri disitu. Hanya menunggumu seorang. Kau salah tingkah saat melihat senyumnya yang mengembang karena kedatanganmu.
            Kau menyeka peluh di lehermu, kau atur semua napas yang memburu didalam tubuh. Namun ia semakin tersenyum melihat tingkahmu.
            “Ma..ma’af, Rey… aku telat.”
            Senyumnya masih tak bergeming. “Tak apa….Kau cantik sekali malam ini, Yumi-chan.” Ah, kau jadi tersanjung, pipimu bersemu merah.
            “Sudah lama ya menunggunya?”
            “Tidak…”
            “Kalau begitu apa yang ingin kamu bicarakan?”
            Ia menghela nafas berat, namun senyum itu masih terpancar disana. Ia lalu menyerahkan kepadamu sebuah pigura besar yang masih dibungkus kain kasa.
            “Apa ini?” Kau bertanya kebingungan seolah tak mengerti.
            ‘Buka saja saat kamu pulang ke rumah nanti.”
            Hening.
Kalian berdua saling terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
            “Ma’af….” Dia menoleh kepadamu, senyum itu sekarang tak terlihat lagi.
            “Ada apa? Kau ada masalah? Berbagilah denganku.”
            “Tidak… Hanya saja besok aku akan pulang ke Indonesia. Dan tak akan kembali lagi kesini..” Ia berkata serak, namun terdengar pasti.
Kau tercengang, sebaliknya ia mengangguk memastikan bahwa perkataannya tadi tidak bercanda. Kau rasakan pohon sakura diatasmu semakin kering, seperti tak mampu menampung beban musim dingin berkepanjangan.
            “A…tidakkah kamu keliru mengambil keputusan ini, Reyhan? Tentu kamu mempunyai alasan mengapa itu harus terjadi. Ya…aku Cuma berharap masih bisa dekat bersamamu.” Kau berkata pelan dan hati-hati. Selebihnya hatimu masih dilanda kecemasan. Belum pernah kau merasakan ketakutan seperti ini sebelumnya. Takut akan kehilangan seseorang yang kau sayangi.
            “Tidak, Yumi…aku serius! Keluargaku terkena musibah gunung merapi, mereka tentu sangat membutuhkan kehadiranku. Dan aku sudah tak memiliki rumah lagi…”
            “Ta…tapi kamu masih bisa membawa seluruh keluargamu ke sini, dan kamu tak akan pergi dari Jepang.” Kau berusaha memberi saran terbaik. Hatimu tulus walaupun kedua matamu sudah berkaca-kaca.
            “Semua itu takkan mungkin, ayolah…cobalah untuk mengerti keadaanku.”
            No, Rey…! Aku lebih paham akan situasi yang menimpamu sekarang.”
            “Kau tak akan mengerti karena sesungguhnya kita berbeda….”
            “Berbeda? Sejauh apa perbedaan itu?”
Agak lama dia terdiam, sebelum akhirnya menjawab.
            “Ma’af…bukan apa-apa yang membuat kita berbeda, Yumi. Tapi ada satu hal yang membuat kita berbeda di hadapan-Nya.”
            “Apa? Aku tak mengerti kemana arah pembicaraanmu, Reyhan.”
            “Kau akan mengerti suatu saat nanti.”
Hening beberapa saat.
            “Apa tidak ada yang bisa kita lakukan?”
            “Hubungan kita hanya bisa sebatas ini, Yumi.”
            “Rey, aku tidak mengerti apa yang kau maksud.”
            “Aku tidak bisa menjelaskannya. Apa yang aku yakini tidak mudah untuk diterima.”
            “Beritahu aku apa yang kamu yakini.”
            “Tidak semudah itu, Yumi…”
            “Kalau itu bisa menghilangkan perbedaan, aku akan melakukannya.” Nada suara kau sedikit memaksa.
Untuk beberapa saat kalian terdiam kembali.
            “Baiklah, Yumi… Aku rasa aku harus pergi sekarang. Aku akui selama kuliah kamulah teman terbaik. Dan aku takkan melupakan kebaikanmu. Sayonara…
Kau tak mampu berkata-kata lagi. Saat sosok tegap itu menjauh kau seperti kehilangan seluruh tonggak penahan di tubuhmu. Kau ingin mencegahnya tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutmu. Sesak, tanpa kau sadari air matamu tumpah menganak sungai di pipimu. Perih nian. Kau memeluk erat pigura besar pemberiannya tadi.
 
*****

Dua bulan kemudian...

            Kali ini kau berdiri di depan pohon sakura halaman rumahmu. Bunganya belum sepenuhnya mekar.  Kehidupan kembali berjalan. Angin musim semi berhembus dengan ringan. Semburat sinar dari langit yang menerobos celah awan-gemawan, tembus sampai ke permukaan bumi berupa batang-batang cahaya. Sejurus kemudian biru, biru merajai angkasa. Lalu semua penduduk Jepang merasakan datangnya musim semi yang menggelora. Ada rasa senang dan sedih yang beriringan dalam hati kau. Senang karena musim semi yang telah lama kau tunggu akhirnya datang, sedih karena tak mungkin lagi melihat sosoknya__ Sosok yang dari awal masuk kuliah telah membuka hatimu yang sejak lama terkungkung, tak mau menerima lelaki mana pun. Tapi dia berbeda, ada satu hal yang menonjolkan perbedaan itu. Yumi-Chan, wanita manapun di dunia ini pantas dihargai kedudukannya, bukan untuk direndahkan seperti halnya perkataanmu tadi. Begitulah, kau kembali terngiang perkataannya yang membius dan membuatmu berubah.
            Beberapa kali kakekmu memuji hiasan dinding yang kau letakkan di ruang tamu rumah. Sebuah lukisan yang dia beri waktu itu, sebelum dia pergi untuk selamanya. Begitu indah jika dipandang. Ibumu bilang itu adalah tulisan kaligrafi, yang berasal dari negeri Timur Tengah. Tapi kau tak mengerti walaupun dijelaskan beberapa kali juga.
            Bunga sakura yang terbang karena tertiup angin. Membuka perlahan kembali hati yang dirundung kegalauan. Pohon sakura yang tumbuh di halaman rumahmu sama halnya dengan pohon sakura yang tumbuh di perbatasan jalan kuil, tempat yang dekat dengan acara festival musim gugur lalu. Tempat yang memberikan berjuta kenangan yang kau simpan rapat. Dan sakura itu juga tumbuh di perbatasan hatimu.
 
Penjara Suci,
20 Januari 2011

Kabut Hitam di Mata Annabelle

Kabut Hitam di Mata Annabelle
            Oleh: Arief Rahman Heriansyah
 
           Musim gugur akan segera berakhir.Tampak dari pohon citrus di halaman rumah besar itu hanya sedikit dihiasi daun berwarna merah tua di ujung tangkainya. Udara musim ini semakin membuat penduduk menggigil setiap harinya karena cuaca yang seperti mau membeku saja.
            Di jendela besar lantai tingkat, gadis kecil itu masih terpaku menyaksikan kepergian ayahnya di muka gerbang rumahnya yang terlampau besar bagi penduduk di sekitarnya. Kali ini ayahnya pergi dengan pakaian militer dan bersenjata lengkap.Didampingi sekitar beberapa tentara serdadu yag juga berseragam resmi dan senjata yang selalu sedia di kedua tangannya.Tampak beberapa tentara itu memberi hormat kepada tuannya yang mau menaiki mobil besi yang sangat kokoh itu.Wajahnya tampak berwibawa, sembari senyum kepada anak buahnya, ia lalu menutup pintu mobil itu karena sudah mau berangkat entah kemana. Saat semua mobil berat itu melaju, seorang gadis kecil di jendela itu semakin murung,pipinya yang kemerahan tampak merona karena entah sedih atau marah dengan kepergian ayahnya yang selalu mendadak, dan itu semakin membuatnya sunyi di rumah sebesar ini.
            Dipeluknya erat boneka panda besar hadiah ulang tahunnya yang ke-delapan tahun lalu.  Hatinya kembali dingin, sedingin cuaca sekarang ini. Khadija, seorang pelayan di rumah besar ini nampak sedang membersihkan debu-debu di dinding rumah yang berasitektur klassik dan tampak berkelas.
            “Khadija,bisakah kau buatkan aku secangkir susu?” Ucap gadis kecil itu polos.
            “Baik,tunggu sebentar Nona.” Khadimah itu meletakkan pembersih debu lalu bergegas menuju ke belakang.Tak lama kemudian ia datang dengan membawa baki dan secangkir susu hangat diatasnya.
            “Silahkan,Nona.” Ucapnya ramah sembari tersenyum.
            “Terima kasih,Khadija” Pelayan itu mengangguk hormat seraya bergegas kembali kebelakang.
            “Emm…Tunggu!!” Suara gadis kecil itu tertahan.
            “Ya, Nona?”
            “Bisakah kau tetap disini temani aku. Yaa…aku rasa aku sedang kesepian akhir-akhir ini”
            “Baiklah, dengan senang hati Nona.” Ucapnya ramah.
            “Kemarilah, kau tau? Aku sangat tidak suka bila Ayahku pergi dari rumah ini secara mendadak  tanpa harus memperhatikan kondisiku sekarang. Kau tau kan, semenjak kematian Ibunda dua tahun lalu aku jadi suka menyendiri. Dan teman bicaraku hanya Ayah dan kau saja.”
            Khadija tersenyum mendengarkan penuturan polos dari majikan muda di hadapannya ini.
            “Mungkin Tuan sedang sibuk,Nona…”
            “Tapi apakah itu harus setiap hari? Tanpa memperdulikan siang atau malam.Aku paling benci jika para lelaki berseragam aneh itu datang kerumah ini untuk menjemput Ayah untuk pergi entah kemana, senjata-senjata besar mereka kadang membuat aku takut. Oh,ya ampun! Aku melihat senapan yang sangat besar digantung di dinding kamar Ayah kemarin malam. Kurasa Ayah baru membelinya, soalnya senapan itu masih mengkilap.”
            Gadis kecil itu makin bersemangat berseloroh tanpa disadarinya rasa sepi itu hilang dengan sendirinya. Khadija dengan takzim mendengarkannya dengan seksama curahan hati majikannya, walaupun tubuhnya cukup lelah hari ini.
            “Baiklah Nona, kurasa sudah waktunya anda istirahat siang. Tapi sebelumnya anda harus berendam di bak air hangat dulu, itu baik untuk kesehatan Nona. Aku akan menyiapkannya dulu.”
            “Terima kasih,  Khadija. Oh, aku lupa! Dimana tempat tinggalmu?”
            “Indonesia…Negeri yang indah sekali.” Ucapnya kembali tersenyum..
            “Wow, bolehkah kapan-kapan aku dan Ayah berkunjung kesana? Aku ingin sekali merasakan suasana alamnya, pasti sangat menyenangkan bukan?”
            “Oh,Tentu saja!”
            Gadis kecil itu berjalan riang menuju kamarnya.Tahukah kau? Ia bernama Annabelle Rossete Jachov. Parasnya sangat mirip dengan Ibunya yang masih keturunan Eropa. Dengan rambut panjang bergelombang berwarna keemasan semakin menambah manis wajahnya.
Walau kadang kelakuannya sedikit membuat Khadija harap-harap cemas.
            Khadija berjalan pelan menuju dapur  untuk membersihkan baki dan gelas bekas majikan mudanya tadi. Pekerjaan rumah hari ini sangat menguras tenaganya, apalagi waktu menyiapkan jamuan untuk pasukan tentara serdadu anak buah Tuannya tadi pagi. Tapi semua itu ia lakukan dengan senang hati tanpa mengeluh sedikit pun. Bagaimana pun ia harus betul-betul mengabdi pada majikan yang telah membantu hidupnya selama hampir sepuluh tahun ini. Dan ia tahu betul untuk menghormati adat di Negeri orang lain.
 
*****
            Angin musim gugur kian menderu-deru tengah malam ini. Tampak dahan pohon citrus bergoyang-goyang karena diterpa angin deras, salah satu ujung dahannya mengetuk-ngetuk jendela besar kamar Khadija, sehingga membuat ia terjaga dari tidur lelapnya. Pada saat yang bersamaan telinga Khadija menangkap bunyi sesuatu yang agak ribut di halaman rumah, ia pikir mungkin Tuan baru datang dari tugasnya. Setelah suara ribut-ribut itu mulai reda diiringi berlalunya dentuman mesin motor Khadija bangkit dari peraduaan mimpinya menuju ke kamar mandi. Percikkan air dingin membasahi wajah dan anggota tubuhnya yang lain. Ia hamparkan sebuah kain permadani suci.Ia benamkan sujud pasrahnya di hamparan kain itu,sangat khusyu’. Dengan gerakan pelan yang lembut, kesyahduan merasuki sukma raganya sampa ia akhiri sujud sembahnya.Telah terlaksanalah tahajjudnya tengah malam ini.Ia sadar ada sesosok orang yang memperhatikannya dari tadi.Pintu kamarnya sedikit terbuka,setelah Khadija menoleh memastikan,ia kaget bukan kepalang.Karena yang telah berdiri disitu adalah sosok Annabelle!
            “Kenapa kau selalu melakukan hal itu? Apakah itu semacam gerakan senam?”
 Khadija sedikit kaget karena baru kali ini Annabelle bertanya seperti itu,seakan-akan menohok hatinya.Ia sedikit salah kaprah.
             “Nona,kenapa anda berdiri disitu? Oh, akan saya antarkan anda ke kamar tidur sekarang juga.”
            “Tidak perlu Khadija….” Mata Annabelle sembab.Ia berjalan mendekati Khadija yang masih duduk terbungkus dengan pakaian sucinya.
“Aku terbangun karena kedatangan Ayah tadi. Dia langsung tidur tanpa menjenguk anaknya ke kamar terlebih dulu.” Annabelle terisak,namun secepatnya ia seka air mata yang baru ingin keluar dari mata beningnya itu.
“Kemarilah Nona, duduklah di pangkuanku.” Annabelle menurut,dan segera menghambur ke pelukan Khadija.”
“Khadija…bisakah kau menjelaskan,apa yang sedang kau lakukan ini?”
            Khadija terdiam kaku.Annabelle kembali berseloroh.
            ”Kulihat kau selalu melakukannya setiap hari. Dan, oh…lihat seragammu itu! sungguh lucu karena hanya mukamu saja yang terlihat. Apa kau tidak capek? Ayahku tidak pernah mengajarkan hal semacam ini kepadaku.”
            Khadija tersenyum mendengar penuturan dari majikan mudanya ini.Hal ini membuat ia jauh dari rasa kantuk.
            “Nona…Anda akan mengerti bila sudah saatnya nanti.” Ucapnya lirih.
            “Aku tidak mengerti ucapanmu, Khadija.”
            “Ini tentang suatu keyakinan manusia di muka bumi ini. Dan semua manusia memiliki keyakinannya masing-masing.”
            “Aku semakin tidak mengerti ucapanmu...”
            “Ma’af, saya tidak bisa menjelaskan lebih banyak lagi…Tuan akan marah jika mengetahui putrinya berada di kamar pelayannya setinggi malam ini.Nona akan mengerti semuanya bila Nona sudah dewasa nantinya,percayalah padaku!”
            “Baiklah,aku akan kembali ke kemarku sekarang juga.Selamat malam…”
Annabelle bangkit menuju keluar pintu kamar Khadija. Perasaan bersalah seketika menyelimuti hati Khadija. Ia menatap kepergian Annabelle dengan perasaan gamang.
            “Oh,satu lagi! Aku lupa…Bisakah kau tidak memanggilku dengan sebutan Nona? Kita berteman baik bukan? Panggil saja aku Anna.”
            “Ba..baiklah kalau begitu,Anna.” Khadija menahan suatu perasaan yang berkecamuk dalam hatinya.
 
*****

            Apapun yang terjadi,ini seperti halnya déjà vu yang merasuki akal nalar setiap manusia pada saat tertentu.Suatu ketika Browndr Jachov, salah satu pasukan pimpinan perang sedang memantau keadaan rumah-rumah yang telah hancur berantakkan dan selebihnya rata dengan tanah. Dengan senapan panjang yang selalu sedia di kedua tangannya, moncong senjata itu seperti siap memuntahkan isi peluru dengan hanya satu gerakan jari saja. Akhir-akhir ini ia sering kesal karena selalu luput dari pandangan anak-anak yang sering melemparkan batu-batu ke arah mobil tank besar miliknya. Entah darimana datangnya, satu kerikil tepat mengenai pelipis kirinya,sehingga membuat ia makin geram pada segerombolan anak-anak sialan itu. Komandan Browndr sering mengumpat-umpat di dalam hati akan kekesalannya pada anak-anak itu.Mereka memang terlalu gesit dan lincah,sehingga selalu luput dari pandangan para tentara sekutu. Komandan Browndr bersumpah akan menguliti mereka habis-habisan bila suatu ketika tertangkap oleh anak buahnya.
            Lamunan komandan Browndr buyar seketika saat matanya menangkap sesuatu sosok di seberang sana.Ia memicingkan sebelah matanya untuk memastikan siapa disana.Tank besar yang dikendarainya terus berjalan mendekati arah yang dituju.  Setelah hampir dekat, komandan Browndr baru sadar kalau itu sesosok lelaki tua berjubah kumal.Komandan Browndr langsung memompa selaras senapannya dan bersiap menarik pelatuk ke arah lelaki tua itu.Namun gerakan tangannya terhenti seketika pada waktu melihat lelaki tua itu melakukan gerakan-gerakan aneh, terlihat tersungkur mencium tanah dan duduk, kemudian terlihat mencium tanah kembali.Seketika pikiran komandan Browndr melayang entah kemana. Ia baru ingat kalau gerakan-gerakan lelaki tua itu sama persis dengan yang dilakukan pelayan di rumahnya! Entah kenapa sekujur tubuh komandan Browndr seperti disengat aliran listrik, sehingga membuatnya urung dan menurunkan senapan yang ada di tangannya.
            Segerombolan tank yang ukurannya lebih kecil mendekat ke arah komandan Browndr untuk melaporkan bahwa tugas pantauan hari ini selesai karena hari sudah mulai petang. Ia menurut dan memutar kembali jalur menuju jalan lain. Para pasukan anak buahnya itu tidak mengetahui kalau ia dari tadi sedang mengintai seseorang dari jauh.
            Mobil-mobil tank itu melaju pelan membelah jalanan berpasir menuju ke tempatnya masing-masing. Saat di persimpangan jalan, tank besar yang dikendarai Browndr Jachov itu berpisah dengan tank-tank yang lebih kecil menuju ke arah jalur lain. Pada saat itulah, tanpa ia sadari sekolompok anak-anak dengan penampilan kumal dan tatapan dingin mengintainya dari belakang. Lalu tank besar itu terus melaju membelah kegelapan malam.
 
*****
 
            “Annabelle…!! Bangun Annabelle…!!!”
            Browndr terlihat mengguncang tubuh putrinya dengan keras untuk membangunkannya. Antara sadar dan tidak, Annabelle terkejut karena sudah melihat Ayahnya di depannya dengan raut muka cemas.
            “Ada apa Ayah….?” Ucap Annabelle dengan wajah yang masih mengantuk.
            “Ikut Ayah! Kita keluar dari rumah ini sekarang juga!”
            Annabelle masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang. Saat mereka berdua berlari melalui pilar-pilar di depan rumah mereka, Annabelle baru sadar kalau rumahnya telah terbakar! Di luar terlihat telah berkumpul para pasukan tentara lengkap dengan tank-tank mereka.
            “Oh, tidak…Siapa yang telah melakukan ini semua,Ayah?”
            “Para bocah-bocah sialan itu! Rupanya Ayah telah salah karena meremehkan akal busuk mereka. Ayo Nak,kita naik mobil sekarang juga! Untuk sementara waktu kita harus pergi dari sini karena seluruh kota ini telah hangus terbakar.”
Annabelle menurut, dengan tergopoh-gopoh ia berlari kecil menuju ke mobil Ayahnya. Tiba-tiba suatu hal yang hampir terlupakan melesat di pikiran Annabelle.
            “Oh..No Ayah! No!! Kita harus menjemput Khadija. Dia masih didalam…!”
            “Tidak ada waktu lagi, sayang…Kita harus mementingkan keselamatan kita.Ayo lekas masuk!”
            “Tidak,Ayah! Khadija baik dengan aku…” Isak Annabelle tertahan.
            Ayah ngerti…Tapi kita tidak mungkin lagi menyelamatkannya karena rumah hampir seluruhnya telah terbakar. Lagian….dia memiliki keyakinan yang sama dengan musuh-musuh Ayah!”
            What?? Apa yang Ayah bilang tadi…”
            “Sudah Annabelle! Ayah bilang masuk ke dalam mobil sekarang!!”
Annabelle tidak bisa lagi membantah perkataan Ayahnya. Ia menangis sesenggukan di dalam mobil. Ia Cuma bisa mengingat perkataan terakhir yang terlontar dari mulut Khadija. Sesungguhnya Tuhan berlaku baik kasih-sayang bagi hamba-Nya yang berprilaku baik pula…Annabelle semakin hanyut terbawa oleh suasana, tanpa disadari kabut di matanya semakin mengepul. Mobil dan pasukan tank terus melaju meninggalkan kawasan kota yang telah hangus terbakar. Meninggalkan sebuah kenangan pahit yang takkan kunjung-kunjung selesai…
 
             Penjara Suci,
             25 Nopember 2010