Sabtu, 07 Januari 2012

Seseorang Yang Menggadaikan Luka


Seseorang Yang Menggadaikan Luka
Oleh: Arief Rahman Heriansyah

Aku mengasah pisau di permukaan dinding-dinding langit. Lalu kubiarkan segerombolan cecak berkejaran. Berbisik sambil menenun bulan, sehingga membuatku pasrah dilanda kegalauan yang amat menyekat.
            Siluet itu tembus menyerupai batang-batang cahaya. Gemeriak aliran angin di luar jendela sana, kutatap lekat-lekat batang pohon cemara yang sepintas mirip sosokmu. Samar-samar kulihat rupamu di sana, seperti membentuk kaca pecah. Lalu aku terbangun dari mimpi, mimpi yang tak berkesudahan. Semuanya berpecah-belah menjadi kepulan mekanik kristal yang menggema, meraung-raung di telinga dengan membahana. Yang tak pernah mati, yang takkan bisa mati sekali.
*****
            Bjb, Taman Murdjani, 1998
            Aku menatap lamat-lamat patung wanita yang wajahnya menunduk layu itu. Orang-orang akan menatapku dengan pandangan aneh, karena tak lama kemudian aku akan tertawa terbahak, sehingga membuat orang-orang di sekitarku yang lewat dengan kebanyakan membawa isteri dan anaknya itu akan secepatnya berlalu; menjauh. Aku geli memandang patung itu, karena aku merasa lucu. Mengapa di sekitar patung wanita itu hanya ada patung-patung jenis binatang, bukan patung kakek-kakek atau anak kecil, yang bisa menemani patung wanita itu sendiri. Tidakkah patung wanita itu merasa sepi? Hal yang sangat aneh menurut pemikiran kecilku.
            Kupandangi semua laki-laki yang ada di sana, memuakkan. Mereka bergandengan dengan makhluk yang bernama wanita, serta tetek-bengek si kecil yang memias manja pada mereka berdua. Sudah bisa kutebak, tak lama kemudian mereka akan mendatangi para penjual mainan sehingga anak itu berhenti merengek menyebalkan. Atau beberapa dari mereka itu akan mendatangi jasa penyewaan kendaraan mobil-mobilan kecil, dengan memutari jalan di seluruh lokasi taman idamanku, dan kemudian aku akan geram memandang kebahagiaan mereka.
            Setelah aku berargumen ria di sini kududukan tubuhku di salah satu ayunan taman, yang membuatku bisa relax walau sebentar saja. Akh.. lagi-lagi aku harus menelan kekesalan dengan mendengar cekikikan tawa anak kecil yang berlarian dengan Orangtuanya, sangat berisik. Sesaat kemudian aku sadar telah menemukan sebuah catatan kecil berbentuk netbook tergeletak di samping tubuhku. Kuraih netbook itu, sepintas seperti coretan-coretan agenda seseorang. Kutemukan sebuah nama di sampul depan: Dhimas Pranajaya. Ujung bibirku melebar, nama yang unik menurutku. Agak lama aku memegang catatan kecil itu hingga tak kusadari seseorang telah mendekat dan berada tepat di hadapanku. Kepalaku mendongak ke atas, kudapati satu sosok di sana.
          “Ah, ma’af.. Apakah anda ada menemukan sebuah buku catatan kecil di situ tadi? Oh, itu dia di tangan anda! Terima kasih.. itu milikku.”
          Tanganku spontan menyerahkan buku kecil miliknya itu. Hatiku merasakan hawa aneh saat bertatapan dengan sorot matanya yang tajam. Tak lama kemudian ia tersenyum, sambil mengucapkan terima kasih padaku, yang membuatku spontan untuk tersenyum membalasnya.
          “Terimakasih, bisakah kita berteman?” Kali ini dia menjulurkan tangannya, entah kenapa tanganku berjabat sangat erat.
          “Namaku Dhimas.. Dhimas Pranajaya. Kamu?” Dia balik bertanya sambil tetap memperlihatkan senyum di bibirnya.
          “Di..Dian, panggil saja namaku Dian.” Entah kenapa setelah itu perasaanku jadi aneh.
Hingga saat itu aku mengenalnya. Ternyata dia seorang wartawan luar kota yang ditugaskan meliput Kota Banjarbaru dengan semua aktifitas para penduduknya, terutama di lokasi Taman Idaman hingga di tempat keramaian lainnya. Aku merasakan semua kejadian ini begitu aneh. Seperti ada yang terulang-ulang. Hinggaku beberapa kali merasakan déjà vu yang lewat setiap ruang benakku terbuka.
*****
            Bjb, Taman Murdjani, 1999
            “Kenapa kau belum memutuskan untuk menikah?” Dia bertanya dengan mimik muka serius. Aku tertawa. Kutangkap kebingungan di wajahnya sesaat, namun kembali seperti sedia kala. Di balik gurat wajahnya terlihat banyak pertanyaan yang kutangkap. Hatiku terasa geli.
            “Kamu sendiri dengan wajah setampan itu kenapa belum menikah?” Aku balik bertanya, dan setelah itu ia tersenyum.
            “Aku masih terlalu dini untuk menikah.. Umurku masih dua puluh empat. Sedangkan kamu sudah berkepala tiga masih melajang. Ah.. Dian, tak mungkin lah wajah sebening kamu orang-orang akan menolak cintamu. Kamu akan mudah mendapatkan jodoh bila mau berusaha.”
            Aku menunduk malu entah karena apa, pasti saat ini pipiku sedang bersemu merah. Eh, tunggu! Dari mana ia tau bahwa umurku sudah berkepala tiga? Kupandangi wajahnya, dia tertawa.
            “Sudahlah… jangan bertanya-tanya dalam hati seperti itu. Seorang wartawan akan mengetahui banyak hal yang tidak diketahui orang lain, kamu harus tau itu.”
            “Iya…iya aku tau!” Aku menggumam kesal, hingga membuat ia kembali tertawa.
            “Dari tadi aku sedikit penasaran, buku apa yang kau peluk itu?” Dia bertanya sambil memandang benda yang kupeluk sedari tadi. Aku tersenyum kecil.
            “Ini kusebut kitab suci… Karena hari ini adalah hari Minggu yang selalu kunantkan, aku akan selalu membawanya saat kebaktian di Gereja.” Aku memejamkan mata, hingga kulanjutkan perkataanku sebelum aku mendesah.
“Kadang aku merasa memiliki banyak salah dengan Tuhan…”
Keningmu berkerut, lalu kutangkap ada gurat aneh di sana. Kau kembali menyimpan sejuta pertanyaan. Pertanyaan yang akan kau simpan rapat.
            “Lalu, sampai manakah pembicaraan kita tadi?” Kau membuat lamunanku seketika buyar, lalu kita tertawa terbahak bersama.
*****
            Bjb, Taman Murdjani, 2000
            “Mungkin aku tidak akan berkunjung ke sini lagi dalam tempo waktu yang lama.”
Kau berkata dingin sambil memandang lurus ke depan, tersenyum melihat anak-anak kecil yang berkejaran, di tangan mereka tergenggam sebuah mainan kayu yang berputar-putar. Aku sedikit kaget mendengar ucapannya, selebihnya aku paham. Walaupun hatiku sepertinya sedang memberontak hebat.
            “Ada apa Dhimas? Kau ada masalah?”
            “Tidak… Hanya saja tugas meliputku di kota kecil ini sudah berakhir. Aku akan kembali ke kota asalku.” Kau menundukkan wajahmu yang berbias layu, tidak kulihat ada pancaran semangat dalam dirimu seperti yang dulu. Ada apa sebenarnya?
            “Sudahlah… jangan kamu pikirkan. Anggap saja perkenalan kita selama dua tahun ini tidak sampai di sini saja. Aku akan kembali berkunjung ke Taman ini, karena aku sudah terlanjur cinta dengan kota ini, kota kecil yang kuanggap sangat luar biasa, kamu tau kan?”
Kau sekilas memandangku, dan kembali menatap segerombolan anak kecil yang bermain tak jauh dari tempat duduk kita. Namun keberisikan mereka dapat aku terima di nalarku, tidak seperti dulu. Aku mendesah, entah kenapa hatiku terasa berat. Kupalingkan wajahku menuju ke patung wanita itu. Seperti terlihat rapuh.
            “Tunggu, kenapa kamu tidak membawa kitab itu lagi? Bukankah ini hari Minggu yang selalu kamu nantikan?” Kau bertanya dengan raut wajah kebingungan. Aku menatapmu lamat.
            “Aku sedang berkelahi dengan Tuhan….” Aku memejamkan mata, namun entah kenapa aku sedang tersenyum. Senyum kepedihan.
            “Kenapa?” Wajahmu sangat terlihat simpatik kepadaku.
            “Sudahlah, itu rahasia aku berdua dengan Dia. Kau tak perlu tau. Mungkin karena sifatku yang masih kekanak-kanakan, sehingga kuputuskan untuk merajuk dengan Tuhan.”
            “Apakah karena Tuhan tidak mengabulkan do’amu?”
            “Sepertinya demikian.”
            “Namun Tuhan mem..”
            “Ssssst…!” Aku menyela argumennya dengan menempelkan telunjuk jariku ke mulutnya.
            “Sudahlah.. aku tak ingin membicarakannya. Ini semua sangat tabu. Mungkin aku perlu beberapa waktu untuk bisa kembali berdamai dengan Tuhan.”
            “Aku akan mendo’akanmu…” Kau berkata pelan.
            “Terimakasih, aku juga akan mendo’akanmu.. Mendo’akan untuk kebahagiaanmu.”
Setelah itu aku merasa batinku tergoncang. Angin semilir di sekitar taman tak mampu menopang tubuhku yang lemah. Sampai saat itu kudengar semua teriakan orang-orang dewasa di sekitarku. Mereka semua mendekat, seperti ada yang mengetuk pintu telingaku. Namun tak kulihat kau ada di sana. Hingga semuanya kurasakan gelap gulita.
*****
            Bjb, Taman Murdjani, 2002
            Tidak kutemui sosok kau di sini. Hanya ada patung wanita dan orang-orang yang telah berganti wajah-wajahnya. Kurapatkan jaket di tubuhku, semuanya seperti terasa membeku. Hingga kutemui sapaan daun-daun kering yang berterbangan di seluruh taman. Menyentuh kerongkongan batinku yang terasa seperti terinjak. Setelah itu terdengar samar-samar suara teriakan, seperti menjauh dan mendekat di sisi telingaku. Sepertinya langit taman ini akan segera runtuh, hingga kuputuskan untuk melangkahkan kaki meninggalkan taman itu. Meninggalkan semua yang mungkin akan kuanggap sebagai sebuah kenangan. Lantas kenapa kau tidak menampakkan sosokmu yang perkasa? Aku mendesah, serta mengeluarkan kepulan asap dari mulutku. Udara semakin mendingin. Orang-orang berlalu, mereka semakin kurasakan lenyap dari pandangan.
*****
            Bjb, Taman Murdjani, 2011
            Kuperhatikan patung wanita itu, wajahnya semakin rapuh dengan tubuh rentanya yang terlihat lapuk. Sepertinya aku dapat mengerti dengan semua penderitaannya, menjadi saksi bisu atas semua histori dari setiap orang-orang yang melalui tubuh bekunya, derita yang akan berlanjut secara berkepanjangan.
            Aku kembali melangkahkan kaki, tak jauh dari tempat itu kulihat orang-orang ramai memberi makan monyet-monyet yang terperangkap dalam kandang besarnya. Mereka semua tertawa, namun mulutku tak bisa menurut seperti apa yang mereka lakukan. Aku semakin melangkah, hingga sampai tepat di hadapan sebuah air mancur yang berdiri indah. Sampai saat itu kurasakan ada hawa sejuk dalam nyawaku, karena mendengar suara gemericik air yang mengalir dari air mancur tersebut. Semuanya telah membuka pintu kesadaran, awan mendung di atas sana akan melampiaskan kegundahannya, sebelum mengguyurkan seluruh isi langit kepada manusia, setelah itu suara guntur akan terdengar menggema.
            Kusapu pandangan ke seluruh isi taman, hampa. Semua sudah terulang sepuluh kali haluan, saat hatiku menyisir setiap jejak keberadaan dirimu. Namun takkan kutemui engkau di sana, maka aku akan tertunduk sedih. Menyesali setiap pertemuan kita, yang sudah terlanjur merekat di setiap peraduan mimpi-mimpi yang kukenakan tiap setengah purnama. Beberapa helai rambutku telah memutih karena usia. Aku sadar sudah tidak muda seperti dulu, akan tetapi tak kutemukan jiwa tua dalam diriku, kukatakan pada nyawa-nyawa di sini aku tetap muda, dan akan selalu muda. Biarlah kulayukan tanaman rindu pada jengkal tanah basah di sudut ruang akalku. Karena tak mungkin tanaman menjalar ini akan merambat ke salah satu pintu rahasia, yang membuka tabir ilegi euforia.
            Sebuah delman dengan kuda gagahnya melintas di depan sudut mataku, pada jarak yang tak terlalu jauh, delman itu berhenti, menurunkan tiga orang di dalamnya dengan kebahagiaan yang terpancar, kebahagiaan sebuah keluarga. Entah kenapa saat melihat tiga orang itu jantungku berdetak dengan cepat, mataku memacu tak berkedip saat melihat lelaki itu, dan… apa itu? Disampingnya ada sosok yang bernama wanita dengan kain panjang penutup kepalanya, dan akh.. makhluk yang kubenci, seorang anak kecil yang bergeliyat manja pada mereka berdua. Kakiku melangkah cepat mendekati mereka, sebelum tanganku menyentuh pundakmu kau keburu telah menghadap padaku. Kau terpana, namun aku lebih terpana karena sorot wajahmu tetap tajam seperti dulu, tetap memancarkankan pesona kepada siapa pun yang melihatnya. Gurat wajah kau menandakan sebuah tanya, aku tak kuasa berucap apa-apa.
            “Dian? Bagaimana kabarmu, oh..Kamu terlihat semakin tua, kuharap kau juga sudah berkeluarga. Kenalkan..ini Khadija isteriku.”
Dia tersenyum kikuk memperkenalkan sosok wanita di sampingnya. Dan wanita itu tersenyum manis kepadaku sambil mengangguk menggendong anaknya. Dia mengucapkan salam yang tidak kumengerti.
Aku masih belum bisa mengejapkan mataku. Mulutku masih terbuka, namun tidak keluar suara apa-apa. Dengan spontan kutarik tangan kau ke sudut taman, kau kebingungan. Sedangkan wanita dan anaknya itu terpana melihat tingkahku yang repleks begitu saja.
            “Kau, telah melupakan janji itu..” Aku tersedak. Suaraku terdengar parau.
            “Aku tidak pernah berjanji menyanggupi hal gila itu.”
            “Apa?! Lalu kau anggap apa kebersamaan kita selama ini?
“Ya.. aku hanya menganggapnya biasa saja...” Kau berkata dingin. Sedingin pandangan matamu saat itu.
“Lantas mengapa kita tidak bisa bersama??!” Aku mencoba menahan seluruh beban dalam-dalam. Kurasakan sebentar lagi isi langit akan tumpah membasahi ubun-ubunku.
            “Sudahlah Dian… Kita tidak akan bisa bersama, karena kita laki-laki...”
Tepat saat itu suara petir menyambar-nyambar. Mengagetkan seluruh jiwa-jiwa yang ada berpijak pada tanah. Aku memejamkan mata, tak lama kemudian kepalaku menggeleng cepat.
 Kau beranjak pergi menjauh dariku yang saat itu mulai memapah air hujan. Kau secepatnya merangkul wanita dan anak kecil yang kau anggap sebagai satu kebahagiaan. Membawa mereka ke tempat penaungan bahtera yang melahirkan sejuta penyesalan. Selesai sudah semua perkara, tetap sedia kalanya hancur belaka. Aku mengalah, karena sejatinya aku selalu kalah terhadap takdirku sebagai laki-laki. Aku tak bisa menerimanya, sehingga aku tetap pasrah dengan kemauan hatiku, kemauan yang selalu kuanggap gila. Namun anehnya aku selalu menurut seperti seekor binatang yang dililit tali belati pada lubang hidungnya.
            Aku menjauh. Kugadaikan luka pada taman impian ini, atau setidaknya kuselipkan bongkahan impianku pada sebuah patung wanita tua itu, yang rela mendengarkan seluruh kekecewaanku pada dunia. Dalam sekat kutandingi asa pada kehampaan jumawa. Kupeluk Banjarbaru, pada titian taman seribu keelokan. Biar saja semua berlalu. Karena sebuah cerita yang tak berkesudahan akan menjauh pada tatapan mata batinku.
            Saat itu langit menumpahkan seluruh isinya. Hujan yang membeku pada suara. Orang-orang akan berlarian, serta menganggap itu sebagai sebuah peristiwa. Peristiwa yang semua orang akan menganggapnya sebagai simbol perpisahan.
*****

Aku tetap mengasah pisau di permukaan dinding-dinding langit. Lalu kubiarkan segerombolan cecak berkejaran. Berbisik sambil menenun bulan, sehingga membuatku pasrah dilanda kegalauan yang amat menyekat.
            Siluet itu tembus menyerupai batang-batang cahaya. Gemeriak aliran angin di luar jendela sana, kutatap lekat-lekat batang pohon cemara yang sepintas mirip sosokmu. Samar-samar kulihat rupamu di sana, seperti membentuk kaca pecah. Lalu aku terbangun dari mimpi, mimpi yang tak berkesudahan. Semuanya berpecah-belah menjadi kepulan mekanik kristal yang menggema, meraung-raung di telinga dengan membahana. Yang tak pernah mati, yang takkan bisa mati sekali.[]

Banjarmasin, 26 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar