Jumat, 12 Agustus 2011

Penjara Suci

Penjara Suci
Oleh : Arief Rahman Heriansyah
 
            Aku berjalan mengendap-ngendap menelusuri semak belukar mendekati tembok pembatas pesantrenku. Tanah becek dan malam yang amat dingin sama sekali tidak menghalangi langkahku. Setelah sampai di depan pagar yang menurutku tidak terlalu tinggi ini, kuletakkan kayu balok setengah meter agar kakiku lebih leluasa untuk melompati pagar. Ya, aku akan loncat pagar tengah malam ini. Tapi bukan kabur ke luar pesantren seperti biasanya, melainkan menyusup ke pesantren putri!
            Kulihat bulan di atas sana semakin menampakkan sinar purnamanya. Aku tersenyum mengejek, tiba-tiba saja aku teringat teman-teman di asrama yang semuanya pengecut. Tak ada yang mau mengikuti ide gilaku ini. Ini akan menjadi malam yang menyenangkan, mengintip para santriwati yang tertidur lelap dari jendela asrama-asrama. Tak akan ada yang mengetahui aksiku, karena sudah kupastikan seluruh penghuni pesantren sudah tertidur pulas pada setinggi malam ini.

***

            "Faruq, lekaslah kamu bersiap-siap! Sebentar lagi bel berbunyi."
            Aku yang sedang asyik berkutat dengan HP sedikit terkaget. Rupanya Ahmad temanku sudah siap berangkat ke kelas dengan beberapa kitab kuning tersikut di lengannya.
            "Ah, kamu duluanlah… Masih ada lima menit lagi, Coy…Aku mau ngisep dulu."
            "Ya sudahlah, terserah kamu!" Ahmad berlalu dengan wajah bersungut kesal. Aku terkekeh membuang muka. Kunyalakan sebatang rokok sambil kembali asyik memainkan game di-HP bututku. Ngisep adalah istilah merokok di pesantrenku. Di pojok asrama tepatnya di bawah gantungan baju di situlah tempat favoritku, sambil berjongkok ria. Karena tidak nampak dari penghuni lainnya. Tapi sebenarnya bukan teman-teman satu asrama yang kuhindari, melainkan kalau-kalau ada Ustadz atau Staf OSIS yang masuk ke asramaku untuk kontrol mendadak.
            Suara bel tanda masuk kelas berbunyi menggema seantero pesantren. Aku mendesah kesal. Dengan terpaksa kumatikan rokok yang masih tersisa setengah. Lalu aku bangkit menyiapkan kitab pelajaran pagi ini. Namun sebelumnya aku letakkan dulu HP-ku di sebuah tempat rahasia dalam lemariku yang takkan diketahui oleh siapa pun selain aku.
            Aku setengah berlari menuju ruang kelas sambil merapikan peci dan kancing baju seragam yang tak beraturan. Aku baru ingat kalau pak pertama hari ini adalah pelajaran nahu. Yang mana diajarkan oleh Ustadz paling killer di pesantrenku yaitu Ustadz Zein. Pantas saja tadi si Ahmad mendesak aku agar cepat masuk kelas. Ah, mudahan saja beliau belum masuk. Tapi perkiraanku ternyata salah. Saat aku tiba di depan pintu kelas kulihat Ustadz Zein sudah menghadangku dengan senyuman sinis yang terhias di wajah beliau. Aku merasa lemas. Dengan terbata-bata kuucapkan salam kepada beliau.
            "A..assalamu'alaikum." Aku masih berdiri terpaku di hadapan beliau.
            "Wa'alaikumsalam…" Sesaat hening. Aku tak menyangka ekspresi beliau bisa sedingin ini.
            "Faruq, sudah yang keberapa kalinya kamu terlambat?"
            "A..afwan, ya Ustadz." Lidahku terasa kelu. Tiba-tiba beliau tersenyum yang menurutku agak menakutkan."
            "Kayaknya pagi ini cukup cerah, bahkan bisa dibilang sangat cerah. Nah…Faruq, silahkan kamu berjemur di depan sana. Lepas baju seragammu dan acungkan peci di atas jari telunjukmu."
         Aku tersentak. Setelah itu kudengar ledakkan tawa menggema di seluruh kelas.

***
            Semenjak kecil aku tidak pernah merasakan hangatnya kasih sayang seorang Ibu. Waktu aku berumur dua tahun Ibu telah meninggalkan aku dan Ayah untuk selamanya. Ayah banting tulang bekerja keras setiap harinya sebagai buruh bangunan, tak jarang Ayah pulang larut malam. Karena itulah aku kurang perhatian dan menjadi brutal. Kalau ayah lelah habis bekerja, Ayah lebih sensitif dan sangat suka marah-marah tak jelas apa penyebabnya, tak jarang itu walaupun harus menyakiti fisikku. Karena itulah membuat egoku semakin keras, kenakalanku semakin menjadi-jadi.
            Sehabis lulus sekolah dasar, Ayah memasukkanku secara paksa ke Pondok Pesantren. Al-Jannah. Awalnya aku menolak keras karena aku ingin ke sekolah umum yang lebih leluasa dalam bergaul. Tapi setelah kupikir-pikir, ada baiknya aku turuti kehendak Ayah masuk pesantren agar bisa terbebas dari kekangan dan aturan-aturan beliau. Namun dugaanku ternyata salah besar, di pesantren justru ternyata peraturan lebih ketat. Seiring berjalannya waktu, sudah berapa kali peraturan atau tata-tertib yang aku langgar. Karena aku sangat membenci dengan yang namanya peraturan.
            Kadang aku merasa iri dengan teman-teman di asrama yang sering kali dijenguk oleh Ayah dan Ibunya. Aku tak mungkin dapat merasakan manisnya semua itu. Karena Ibu sudah tiada dan Ayah yang tak punya waktu menjengukku dikarenakan pekerjaannya sebagai buruh bangunan yang tak kenal waktu. Bila aku tak tahan melihat pemandangan menyakitkan itu aku lebih memilih keluar asrama, apa saja yang ingin aku lakukan, asalkan tidak sakit hati melihat kebahagiaan teman-temanku yang dijenguk oleh Orangtuanya.
            Sekarang aku duduk di kelas I Aliyah, yang berarti sudah empat tahun aku bertahan dalam penjara suci ini. Namun semakin tinggi kelas aku bukannya semakin membaik, malah aku semakin tertekan dan aku lebih sering melanggar peraturan. Tak terhitung, mulai dari kedapatan HP, kabur / loncat pagar, merokok, memalsukan tanda tangan Ustadz, atau tidak berjama'ah shalat. Dan sesering itu pula Ayah sering dipanggil untuk mengahadap karena kenakalanku. Ayah marah besar namun tak ada pengaruhnya bagiku karena sudah terbiasa dimarahi olehnya. Tapi anehnya aku tidak pernah mendapat hukuman yang mengharuskan aku untuk berhenti menuntut ilmu di pondok pesantren ini. Mungkin karena kesalahanku bukan termasuk perbuatan yang fatal, seperti mencuri, berjudi, atau menzhalimi sesama teman. Terkadang Ustadz dan para OSIS kewalahan menghadapi ulahku. Sudah berbagai cara mereka lakukan untuk mengubahku, mulai dari sangsian ataupun hukuman berat. Tapi itu tak akan membuat aku jera.
            Lain halnya dengan Ustadz Zein. Entah kenapa aku merasakan atmosfer lain jika waktu berhadapan dengan beliau. Semenjak beliau diangkat menjadi ketua keaamanan Dewan Guru sejak aku kelas III Tsanawiyah lalu, beliau lebih sering memperhatikanku. Tapi aku bingung kenapa aku selalu merasakan ketakutan jika beliau membentak atau marah padaku. Padahal aku sudah sangat biasa jika dimarahi oleh orang lain, siapa pun itu. Kuakui Guruku yang satu ini mempunyai hawa aneh yang sama sekali tidak aku mengerti...

***
            Malam ini tak cerah seperti biasanya. Hujan deras mengguyuri bumi seantero pesantren. Melelapkan semua penghuninya yang asyik dalam peraduan mimpi-mimpinya.  Kilat menyambar-nyambar menampakkan akar cahayanya seperti membelah langit yang suram. Dingin menyeruak. Namun di salah satu asrama yang ada, masih terjaga empat orang santri yang masih asyik bercakap-cakap membicarakan suatu hal. Suara mereka tak akan terdengar santri lain karena ditelan oleh derasnya hujan.

            "Bagaimana?"
Aku kembali bicara setelah mereka terdiam. Di depanku Ahmad, Yahya, dan Edoy tampak berpikir keras.
            "Tapi faruq, ini terlalu beresiko. Aku takutnya..." Belum sempat Ahmad menyelesaikan argumennya, aku menyela.
            "Apa yang kamu takutkan? Bukankah pada setinggi malam itu takkan ada yang mengetahui aksi kita?"
            "Tapi kalau ada Ustadz atau Staf OSIS yang kontrol malam bagaimana?" kali ini Edoy yang angkat bicara.
            "Apa susahnya untuk lari. Malam sangat gelap dan mereka pasti akan sulit menemukan kita."
            "Tapi aku tak yakin bisa lolos semudah itu, Faruq..."
            "Alaah...bilang saja kalau kalian semua takut!" Aku mulai kesal.
            "Kami bukannya takut, tapi memikirkan resiko menyelusup ke pesantren putri itu sangat berbahaya, bahkan bisa dibilang sangat fatal!"
            Dhuaarr...!!! Suara guntur menyambar memekakkan telinga, membentuk kilatan cahaya yang memantul di kaca jendela asrama kami.
            "Sudahlah Faruq... Batalkan saja niatmu itu." Yahya menasehati sambil menatapku nanar.
            "Tidak! Tekadku sudah bulat. Aku sudah bosan hidup di pesantren begini-gini saja."
            "Kalau begitu afwan... Aku tak bisa ikut dengan ide gilamu ini!"
            Ahmad bangkit berdiri menuju kasur tidurnya.
            "Ma'af, aku juga tak bisa. Aku mau tidur." Edoy berdiri menjauh diikuti Yahya di belakangnya. Meninggalkanku sendiri yang terpaku menatap mereka semua.
            "Dasar pengecut!" Aku menggumam kesal.
            Gluduk...Duarr...!!! Suara petir kembali menggema. Kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya.

***

            Aku merapatkan jaket yang membungkus tubuh kurusku, sambil menajamkan telinga kalau-kalau ada penghuni pesantren yang terjaga tengah malam ini. Ah, aman. Semua penghuni pesantren  sudah pasti tertidur lelap di balik selimutnya. Kulirik arloji di tangan kiriku, sudah pukul satu malam tepat. Kurasa sudah saatnya aku beraksi. Kutanjakkan kayu balok itu erat pada tembok pembatas pesantren. Aku sudah siap meloncati pagar ke pesantren putri sebelah. Hup, Kakiku mulai menginjak kayu balok sebelum tubuhku ikut melompat. Tapi tiba-tiba aku kaget karena sekilat cahaya kuning tepat menyinari wajahku.
            "Itu dia! Santri mau loncat ke putri, kejar!!"
            Sial! Rupanya segerombolan Staf OSIS yang kontrol malam menemukakanku. Kakiku turun kembali setelah mau meloncati pagar pembatas tadi. Aku gagal beraksi malam ini. Sejurus kemudian aku berlari sekencang mungkin menerobos semak-semak tinggi di kegelapan malam. Staf OSIS juga tak kalah kencang berlari mengejarku. Aku harus terhindar dari cahaya senter mereka. Aku terus berlari kencang. Napasku tersengal, aku lemas sambil tersandar di samping asrama Malik 7. Tapi mereka semakin dekat, sehingga memaksaku untuk kembali lari. Aku mau kembali ke asrama tapi semua asrama sudah pasti dikunci setinggi malam ini. Tujuanku satu-satunya agar terlolos dari mereka cuma WC! Ya, aku bisa menyelamatkan diriku mengumpet di sana. Kalau azan subuh mulai menggema baru aku akan keluar dari tempat persembunyianku. Kakiku sudah amat lelah, kupaksakan untuk bangkit walaupun setengah berlari tertatih-tatih, sambil sesekali melihat ke belakang. Aku masih saja lari walaupun aku juga merasa kantuk mulai menyerangku.           
Brug! Aku kaget karena menabrak sesuatu sosok bertubuh besar. Setelah kupastikan siapa sosok sosok bertubuh besar yang mengenakan sorban di bahunya itu ternyata adalah Ustadz Zein! Aku meneguk ludah, kerongkonganku terasa tercekat.
            "A...Ustadz..?!"

***
        Suara bel menggema tanda pelajaran pertama dimulai. Aktifitas sekolah berjalan seperti biasanya. Pagi ini sangat cerah, tapi hatiku tidak secerah mentari pagi ini. Di ruangan khusus kantor Ma'had, aku duduk lesu menatap seisi ruangan kecil ini. Sesungguhnya tempat ini sangat tidak asing lagi bagiku, karena aku sudah sangat sering disidang di tempat ini. Di sampingku Ayah duduk juga tak kalah gelisahnya sepertiku. Beberapa kali Ayah menyapu peluh di pelipisnya. Tak lama kemudian Ustadz Zein masuk ruangan dengan membawa beberpa berkas di lengannya. Setelah menjabat tanganku dan Ayah kemudian beliau duduk di hadapan kami berdua. Deg! Lagi-lagi aku merasakan hawa ketakutan yang luar biasa saat Ustadz Zein tersenyum ke arahku. Hening sesaat. Sebelum membuka percakapan Ustadz Zein menatap Ayah lamat.
        "Begini Pak Rustam, Bapak dipanggil ke sini karena anak Bapak lagi-lagi melakukan kesalahan, yaitu melanggar peraturan Pondok."
Kulihat Ayah mengangguk lemah.
        "Iya, saya tahu Pak Ustadz."
        "Namun kali ini kesalahan anak Bapak sangat fatal. Anak Bapak telah berani mencoba loncat pagar dan menyelusup ke pesantren putri sebelah."
Ayah terdiam lemah. Matanya sendu menatap ke bawah. Sedangkan aku berusaha menahan kecamuk dalam dada. Sesungguhnya aku dapat merakan kesedihan di hati Ayah. Tanpa kusadari keringat dingin membasahi tubuhku. Entah sangsian apalagi yang Ustadz Zein tetapkan kepadaku sesaat lagi.
        "Padahal Faruq sudah termasuk kelas tinggi di pesantren ini. Seharusnya semakin tinggi kelas ia lebih bisa bersikap dewasa dalam membawa diri. Tapi bukannya ia lebih bisa mengontrol dirinya, justru sikapnya semakin brutal. Saya paling marah jika ada anak santri yang malas untuk masuk kelas untuk belajar. Sedangkan Faruq sangat suka membolos, kalau pun ia hadir bahkan itu pun juga terlambat. Saya tak habis pikir kenapa ia suka menyia-nyiakan masa pendidikan yang sangat berharga untuknya itu. Sekali lagi saya sangat menyayangkan sikap tolerannya."
        "Saya juga bingung pak Ustadz...Padahal saya sudah berusaha mungkin mendidiknya di rumah."
Ah, bohong! Ayah tak pernah perhatian denganku di rumah, apalagi mendidik aku.
Aku menahan kesal dalam hati sambil memperhatikan percakapan Ayah dan Ustadz.
            "Ini sudah terlalu sering anak Bapak melanggar peraturan. Mulai dari merokok, membawa HP, loncat pagar, tidak berjama'ah sholat, bolos sekolah. Tidak terhitung lagi anak Bapak melawan semua peraturan itu. Namun anehnya sangsian seberat apa pun tak bisa membuatnya jera juga untuk bersikap lebih baik."
            Kembali suasana hening menyelimuti kami.
            "Dalam dokumen berkas ini, sudah lima kali lebih Faruq melakukan pelanggaran. Dan untuk kesalahan yang satu ini sudah sangat fatal. Kami para Dewan Guru juga sudah kewalahan menghadapinya. Maka itu dengan terpaksa dan berat hati..."
            Deg...deg..! Entah kenapa aku merasakan seperti sebuah jarum tepat menyerang ulu hatiku. Aku bingung ada apa dengan perasaanku ini. Kutatap wajah ustadz Zein dengan penuh harap.
            "Maka itu dengan terpaksa dan berat hati, Faruq kami kembalikan kepada Bapak alias diberhentikan..."
            Ayah yang semula menunduk langsung refleks menatap wajah Ustadz Zein. Beliau tersentak kaget dan Ustadz Zein kembali mengangguk memastikan ucapannya tadi adalah keputusan terakhir. Sedangkan aku langsung lemas. Aku seperti kehilangan seluruh tonggak penahan di tubuhku, aku merasa rapuh sekali.
            "Tidakkah Pak Ustadz bisa memberi hukuman yang lain agar anak saya bisa tetap bersekolah di sini? Saya tidak tahu lagi harus menyekolahkan anak saya dimana jika diberhentikan di Pesantren ini. Saya mohon Pak ustadz! Berilah keringanan kepada anak saya."
            Ayah berusaha mengiba kepada Ustadz Zein. Namun Ustadz Zein menggeleng lemah.
            "Ini sudah keputusan kami... Anak Bapak sudah terlampau jauh melawan tata-tertib pesantren. Sepertinya dia tidak betah hidup di sini."
            "Tidak Pak Ustadz! Saya yakin anak saya betah sekolah di pesantren ini. Mungkin dia kurang perhatian saja karena Ibunya sudah lama meninggal. Dan saya juga tak bisa memberikan didikan kepadanya penuh karena saya tak bisa meninggalkan pekerjaan saya."
            Ayah kembali berargumen keras. Aku ngerti kalau Ayah berusaha agar aku masih bisa terselamatkan dan tetap bisa bersekolah di sini. Tapi aku bingung kenapa Ayah baru menyadarinya kalau dia tidak ada perhatian denganku? Sedangkan aku sudah lama menantikan semua itu. Menanti dengan penuh harap akan belaian kasih sayang seorang Ayah yang hangat. Yang selalu aku rasakan saat Orangtua Ahmad, yahya, maupun Orangtua Edoy yang datang menanyakan kabarku dan sesekali mengelus kepalaku. Namun Ayah tak pernah sama sekali mengelus kepalaku lembut, kenapa?
            Ustadz Zein menatap nanar kepadaku. Ada suatu perasaan halus yang memancar saat beliau menatapku tepat di manik mata.
            "Nak Faruq... Coba kamu jujur. Apakah kamu masih ingin bersekolah di sini?"
Beliau bertanya lembut kepadaku. Sejurus kemudian aku mengangguk cepat, padahal aku bingung kenapa langsung saja repleks mengangguk menanggapi pertanyaan beliau.
        "Iya Ustadz... Saya masih ingin sekolah di pesantren ini. Saya tak ingin diberhentikan. Saya kasihan dengan Ayah..."
        Ada gurat kekagetan di wajah ustadz Zein dan wajah Ayah saat aku mengucapkan kalimat tadi. Entah apakah yang mereka rasakan, yang jelas jujur aku masih ingin bersekolah di pesantren ini.
        "Pak Rustam... coba bapak letakkan tangan Bapak di atas meja."
Aku tak mengerti apa yang Ustadz Zein bicarakan. Ayah nampak kebingungan dengan perintah itu. Namun sesaat kemudian Ayah menurut dan meletakkan tangan beliau di atas meja.
        "Nah...Faruq, coba kamu letakkan tanganmu juga di atas meja ini." Aku langsung menurut, tanpa belum kumengerti apa maksud ustadz Zein dibalik semua ini.
        "Faruq, coba kamu bandingkan... Lebih kasar mana tanganmu dan tangan Ayahmu?"
Aku bingung. Tentu saja jauh lebih kasaran tangan Ayah daripada tanganku. Lalu apa maksud Ustad Zein? Kulihat Ayah cuma terdiam seribu bahasa. Kembali kami bertiga diselimuti keheningan.
        Tiba-tiba Ayah menangis. Aku kaget, seumur hidup baru kali ini kulihat ayah menangis. Tangisannya sangat terdengar pilu di telingaku dan hatiku sangat sedih mendengarnya. Kulihat Ustadz Zein juga menunduk sedih. Aku semakin bingung ada apa ini. Namun entah kenapa aku juga merasakan kesedihan yang amat sangat. Seperti kontak batin antara Ayah dan anak, air mataku juga jatuh perlahan menganak sungai di kedua pipiku. Sudah sangat lama aku tidak menangis, padahal aku bingung kenapa aku harus menangis.
        "Tidakkah kamu sadar Faruq? Ayahmu banting tulang setiap hari melakoni pekerjaannya sebagai buruh bangunan yang kasar. Hingga semua itu harus membuat tubuhnya penuh dengan goresan kerasnya kehidupan. Kamu lihat tadi betapa kasarnya tangan Ayahmu, seperti cermin yang memantulkan betapa kerasnya perjuangan beliau agar bisa membiayaimu sekolah di sini."
Aku mengangguk lemah sambil menyeka air mata yang tak berhenti membasahi pipiku.
        "Nah, maukah kamu berjanji kepada Ayahmu agar tidak lagi membuat kesalahan dan memperbaiki kesalahani dirimu? Kalau kamu mau berjanji, Ustadz akan mencabut keputusan tadi dan membiarkanmu agar tetap bisa bersekolah di sini."
        "Saya mau ustadz....Saya mau! Saya tidak mau lagi melanggar peraturan. Saya akan memperbaiki semua kesalahan yang pernah saya lakukan. Saya..." Terhenti dalam sedu sedan.
        Hingga akhir itu, berakhirlah semua kenakalanku. Saat itu pula Ayah lebih sering memperhatikanku selayaknya Ayah yang sangat mencintai kepada anaknya. Kulangkahkan mantap hatiku menimba ilmu di Pesantren. Tempat yang kuanggap seperti Penjara Suci tempat tinggalnya para santri penerus bangsa di Tanah Air ini. Melahirkan kader-kader yang bisa diandalkan dalam masyarakat maupun dalam agama. Masih kokoh berdiri disana, pesantren yang membuatku mengerti sepenuhnya arti kehidupan. Memberiku sebuah arti kebersamaan, keruhanian batin, serta pentingnya pendidikan. Tak dapat kubendung setelah aku tamat belajar di sana, masih aku rasakan suasana semua aktifitas para santri yang ceria. Berebut antrean makan, berlari-lari setelah pulang sekolah, khusuknya saat pengajian di mushala. Masih banyak lagi manis yang aku rasakan saat aku hidup di Penjara Suci ini.

***
        Dua puluh tahun kemudian...
 
        Aku menutup percakapan di telepon. Kuhirup secangkir kopi hangat buatan Isteriku. Sambil menyalakan remote TV, kuhirup kembali kopi hangat dengan nikmat. Kupandangi jendela pagi hari yang cerah ini, menimbulkan sebuah déjà vu yang tak aku mengerti. Tiba-tiba aku dihampiri Afif putera sulungku yang baru saja meraih peringkat pertama di kelulusan SD. Wajahnya tampak sumringah.
        "Ayah, kapan kita berangkat ke sana? Aku sudah tak sabar lagi."
        "Ya, nanti besok kita berangkat. Ayah juga rindu ingin ke sana, ada seseorang yang ingin Ayah temui nanti."
        "Hore..! Ayah janji ya." Aku mengangguk sambil tersenyum hangat kepada anakku.
Sekarang aku sudah sukses bekerja menjadi Direktur Utama pada perusahaan pembangunan. Kemarin aku sangat terkejut saat anakku minta di masukkan ke Pesantren tempatku menimba ilmu dulu. Tentu aku sangat senang mendengarnya. Dengan senang hati aku menuruti permintaannya.
        Ah, sudah lama masa-masa itu. Saat aku dalam proses pendewasaan. Masih aku rasakan pada saat ini. Kupejamkan mataku sambil tersenyum. Bagaimana kabar Ustadz Zein sekarang? Sudah tak sabar aku ingin menemuinya besok nanti. Ingin kupeluk dan kucium tangan beliau. Semoga beliau dalam keadaan baik-baik saja.
Ingin rasanya aku kembali pada masa indah itu. Aku tersenyum, mungkin anakku akan menjadi generasi pejuang ilmu agama selanjutnya. Ah.. penjara suci, menyisakan sebuah senandung kerinduan yang tak tertandingi.

        Penjara Suci,
        Mei 2011
        Ket: Juara I Lomba Cerpen Hardiknas antar SMA se-derajat tingkat Kalimantan Selatan

4 komentar:

  1. sial aku juga ikut degdegan bacanyaaa!! tapi, ehm, dulu aku juga penasaran ama cewek-cewek yang sama-sama puber.. bahkan aku melakukan hal yang lebih gila, tapi jangan dibahas deh..hahahah

    BalasHapus
  2. @Tukang Colong: hahahaha... bergitukah kesanmu pd cewek kawan?? hehe

    memang kita punya kesan sendiri saat lagi masa puberya *gaya udah dewasa* hihihi

    Okey, Salam Kreatif selalu!

    BalasHapus
  3. ceritanya tetap menggoda...menggoda untuk terus dibaca maksudku... ^o^
    aku selalu suka cerita2 yg sperti ini, mudah dipahami dan mengalir apa adanya...

    Selamat yaaa...traktirannya mana??kan jadi juara :p

    BalasHapus
  4. Bwehe... :p

    Kak Haney bisa ajah,
    Okeh... klo aku nanti ke Pekalongan,
    haha ^_^

    BalasHapus