Sabtu, 07 Januari 2012

Seseorang Yang Menggadaikan Luka


Seseorang Yang Menggadaikan Luka
Oleh: Arief Rahman Heriansyah

Aku mengasah pisau di permukaan dinding-dinding langit. Lalu kubiarkan segerombolan cecak berkejaran. Berbisik sambil menenun bulan, sehingga membuatku pasrah dilanda kegalauan yang amat menyekat.
            Siluet itu tembus menyerupai batang-batang cahaya. Gemeriak aliran angin di luar jendela sana, kutatap lekat-lekat batang pohon cemara yang sepintas mirip sosokmu. Samar-samar kulihat rupamu di sana, seperti membentuk kaca pecah. Lalu aku terbangun dari mimpi, mimpi yang tak berkesudahan. Semuanya berpecah-belah menjadi kepulan mekanik kristal yang menggema, meraung-raung di telinga dengan membahana. Yang tak pernah mati, yang takkan bisa mati sekali.
*****
            Bjb, Taman Murdjani, 1998
            Aku menatap lamat-lamat patung wanita yang wajahnya menunduk layu itu. Orang-orang akan menatapku dengan pandangan aneh, karena tak lama kemudian aku akan tertawa terbahak, sehingga membuat orang-orang di sekitarku yang lewat dengan kebanyakan membawa isteri dan anaknya itu akan secepatnya berlalu; menjauh. Aku geli memandang patung itu, karena aku merasa lucu. Mengapa di sekitar patung wanita itu hanya ada patung-patung jenis binatang, bukan patung kakek-kakek atau anak kecil, yang bisa menemani patung wanita itu sendiri. Tidakkah patung wanita itu merasa sepi? Hal yang sangat aneh menurut pemikiran kecilku.
            Kupandangi semua laki-laki yang ada di sana, memuakkan. Mereka bergandengan dengan makhluk yang bernama wanita, serta tetek-bengek si kecil yang memias manja pada mereka berdua. Sudah bisa kutebak, tak lama kemudian mereka akan mendatangi para penjual mainan sehingga anak itu berhenti merengek menyebalkan. Atau beberapa dari mereka itu akan mendatangi jasa penyewaan kendaraan mobil-mobilan kecil, dengan memutari jalan di seluruh lokasi taman idamanku, dan kemudian aku akan geram memandang kebahagiaan mereka.
            Setelah aku berargumen ria di sini kududukan tubuhku di salah satu ayunan taman, yang membuatku bisa relax walau sebentar saja. Akh.. lagi-lagi aku harus menelan kekesalan dengan mendengar cekikikan tawa anak kecil yang berlarian dengan Orangtuanya, sangat berisik. Sesaat kemudian aku sadar telah menemukan sebuah catatan kecil berbentuk netbook tergeletak di samping tubuhku. Kuraih netbook itu, sepintas seperti coretan-coretan agenda seseorang. Kutemukan sebuah nama di sampul depan: Dhimas Pranajaya. Ujung bibirku melebar, nama yang unik menurutku. Agak lama aku memegang catatan kecil itu hingga tak kusadari seseorang telah mendekat dan berada tepat di hadapanku. Kepalaku mendongak ke atas, kudapati satu sosok di sana.
          “Ah, ma’af.. Apakah anda ada menemukan sebuah buku catatan kecil di situ tadi? Oh, itu dia di tangan anda! Terima kasih.. itu milikku.”
          Tanganku spontan menyerahkan buku kecil miliknya itu. Hatiku merasakan hawa aneh saat bertatapan dengan sorot matanya yang tajam. Tak lama kemudian ia tersenyum, sambil mengucapkan terima kasih padaku, yang membuatku spontan untuk tersenyum membalasnya.
          “Terimakasih, bisakah kita berteman?” Kali ini dia menjulurkan tangannya, entah kenapa tanganku berjabat sangat erat.
          “Namaku Dhimas.. Dhimas Pranajaya. Kamu?” Dia balik bertanya sambil tetap memperlihatkan senyum di bibirnya.
          “Di..Dian, panggil saja namaku Dian.” Entah kenapa setelah itu perasaanku jadi aneh.
Hingga saat itu aku mengenalnya. Ternyata dia seorang wartawan luar kota yang ditugaskan meliput Kota Banjarbaru dengan semua aktifitas para penduduknya, terutama di lokasi Taman Idaman hingga di tempat keramaian lainnya. Aku merasakan semua kejadian ini begitu aneh. Seperti ada yang terulang-ulang. Hinggaku beberapa kali merasakan déjà vu yang lewat setiap ruang benakku terbuka.
*****
            Bjb, Taman Murdjani, 1999
            “Kenapa kau belum memutuskan untuk menikah?” Dia bertanya dengan mimik muka serius. Aku tertawa. Kutangkap kebingungan di wajahnya sesaat, namun kembali seperti sedia kala. Di balik gurat wajahnya terlihat banyak pertanyaan yang kutangkap. Hatiku terasa geli.
            “Kamu sendiri dengan wajah setampan itu kenapa belum menikah?” Aku balik bertanya, dan setelah itu ia tersenyum.
            “Aku masih terlalu dini untuk menikah.. Umurku masih dua puluh empat. Sedangkan kamu sudah berkepala tiga masih melajang. Ah.. Dian, tak mungkin lah wajah sebening kamu orang-orang akan menolak cintamu. Kamu akan mudah mendapatkan jodoh bila mau berusaha.”
            Aku menunduk malu entah karena apa, pasti saat ini pipiku sedang bersemu merah. Eh, tunggu! Dari mana ia tau bahwa umurku sudah berkepala tiga? Kupandangi wajahnya, dia tertawa.
            “Sudahlah… jangan bertanya-tanya dalam hati seperti itu. Seorang wartawan akan mengetahui banyak hal yang tidak diketahui orang lain, kamu harus tau itu.”
            “Iya…iya aku tau!” Aku menggumam kesal, hingga membuat ia kembali tertawa.
            “Dari tadi aku sedikit penasaran, buku apa yang kau peluk itu?” Dia bertanya sambil memandang benda yang kupeluk sedari tadi. Aku tersenyum kecil.
            “Ini kusebut kitab suci… Karena hari ini adalah hari Minggu yang selalu kunantkan, aku akan selalu membawanya saat kebaktian di Gereja.” Aku memejamkan mata, hingga kulanjutkan perkataanku sebelum aku mendesah.
“Kadang aku merasa memiliki banyak salah dengan Tuhan…”
Keningmu berkerut, lalu kutangkap ada gurat aneh di sana. Kau kembali menyimpan sejuta pertanyaan. Pertanyaan yang akan kau simpan rapat.
            “Lalu, sampai manakah pembicaraan kita tadi?” Kau membuat lamunanku seketika buyar, lalu kita tertawa terbahak bersama.
*****
            Bjb, Taman Murdjani, 2000
            “Mungkin aku tidak akan berkunjung ke sini lagi dalam tempo waktu yang lama.”
Kau berkata dingin sambil memandang lurus ke depan, tersenyum melihat anak-anak kecil yang berkejaran, di tangan mereka tergenggam sebuah mainan kayu yang berputar-putar. Aku sedikit kaget mendengar ucapannya, selebihnya aku paham. Walaupun hatiku sepertinya sedang memberontak hebat.
            “Ada apa Dhimas? Kau ada masalah?”
            “Tidak… Hanya saja tugas meliputku di kota kecil ini sudah berakhir. Aku akan kembali ke kota asalku.” Kau menundukkan wajahmu yang berbias layu, tidak kulihat ada pancaran semangat dalam dirimu seperti yang dulu. Ada apa sebenarnya?
            “Sudahlah… jangan kamu pikirkan. Anggap saja perkenalan kita selama dua tahun ini tidak sampai di sini saja. Aku akan kembali berkunjung ke Taman ini, karena aku sudah terlanjur cinta dengan kota ini, kota kecil yang kuanggap sangat luar biasa, kamu tau kan?”
Kau sekilas memandangku, dan kembali menatap segerombolan anak kecil yang bermain tak jauh dari tempat duduk kita. Namun keberisikan mereka dapat aku terima di nalarku, tidak seperti dulu. Aku mendesah, entah kenapa hatiku terasa berat. Kupalingkan wajahku menuju ke patung wanita itu. Seperti terlihat rapuh.
            “Tunggu, kenapa kamu tidak membawa kitab itu lagi? Bukankah ini hari Minggu yang selalu kamu nantikan?” Kau bertanya dengan raut wajah kebingungan. Aku menatapmu lamat.
            “Aku sedang berkelahi dengan Tuhan….” Aku memejamkan mata, namun entah kenapa aku sedang tersenyum. Senyum kepedihan.
            “Kenapa?” Wajahmu sangat terlihat simpatik kepadaku.
            “Sudahlah, itu rahasia aku berdua dengan Dia. Kau tak perlu tau. Mungkin karena sifatku yang masih kekanak-kanakan, sehingga kuputuskan untuk merajuk dengan Tuhan.”
            “Apakah karena Tuhan tidak mengabulkan do’amu?”
            “Sepertinya demikian.”
            “Namun Tuhan mem..”
            “Ssssst…!” Aku menyela argumennya dengan menempelkan telunjuk jariku ke mulutnya.
            “Sudahlah.. aku tak ingin membicarakannya. Ini semua sangat tabu. Mungkin aku perlu beberapa waktu untuk bisa kembali berdamai dengan Tuhan.”
            “Aku akan mendo’akanmu…” Kau berkata pelan.
            “Terimakasih, aku juga akan mendo’akanmu.. Mendo’akan untuk kebahagiaanmu.”
Setelah itu aku merasa batinku tergoncang. Angin semilir di sekitar taman tak mampu menopang tubuhku yang lemah. Sampai saat itu kudengar semua teriakan orang-orang dewasa di sekitarku. Mereka semua mendekat, seperti ada yang mengetuk pintu telingaku. Namun tak kulihat kau ada di sana. Hingga semuanya kurasakan gelap gulita.
*****
            Bjb, Taman Murdjani, 2002
            Tidak kutemui sosok kau di sini. Hanya ada patung wanita dan orang-orang yang telah berganti wajah-wajahnya. Kurapatkan jaket di tubuhku, semuanya seperti terasa membeku. Hingga kutemui sapaan daun-daun kering yang berterbangan di seluruh taman. Menyentuh kerongkongan batinku yang terasa seperti terinjak. Setelah itu terdengar samar-samar suara teriakan, seperti menjauh dan mendekat di sisi telingaku. Sepertinya langit taman ini akan segera runtuh, hingga kuputuskan untuk melangkahkan kaki meninggalkan taman itu. Meninggalkan semua yang mungkin akan kuanggap sebagai sebuah kenangan. Lantas kenapa kau tidak menampakkan sosokmu yang perkasa? Aku mendesah, serta mengeluarkan kepulan asap dari mulutku. Udara semakin mendingin. Orang-orang berlalu, mereka semakin kurasakan lenyap dari pandangan.
*****
            Bjb, Taman Murdjani, 2011
            Kuperhatikan patung wanita itu, wajahnya semakin rapuh dengan tubuh rentanya yang terlihat lapuk. Sepertinya aku dapat mengerti dengan semua penderitaannya, menjadi saksi bisu atas semua histori dari setiap orang-orang yang melalui tubuh bekunya, derita yang akan berlanjut secara berkepanjangan.
            Aku kembali melangkahkan kaki, tak jauh dari tempat itu kulihat orang-orang ramai memberi makan monyet-monyet yang terperangkap dalam kandang besarnya. Mereka semua tertawa, namun mulutku tak bisa menurut seperti apa yang mereka lakukan. Aku semakin melangkah, hingga sampai tepat di hadapan sebuah air mancur yang berdiri indah. Sampai saat itu kurasakan ada hawa sejuk dalam nyawaku, karena mendengar suara gemericik air yang mengalir dari air mancur tersebut. Semuanya telah membuka pintu kesadaran, awan mendung di atas sana akan melampiaskan kegundahannya, sebelum mengguyurkan seluruh isi langit kepada manusia, setelah itu suara guntur akan terdengar menggema.
            Kusapu pandangan ke seluruh isi taman, hampa. Semua sudah terulang sepuluh kali haluan, saat hatiku menyisir setiap jejak keberadaan dirimu. Namun takkan kutemui engkau di sana, maka aku akan tertunduk sedih. Menyesali setiap pertemuan kita, yang sudah terlanjur merekat di setiap peraduan mimpi-mimpi yang kukenakan tiap setengah purnama. Beberapa helai rambutku telah memutih karena usia. Aku sadar sudah tidak muda seperti dulu, akan tetapi tak kutemukan jiwa tua dalam diriku, kukatakan pada nyawa-nyawa di sini aku tetap muda, dan akan selalu muda. Biarlah kulayukan tanaman rindu pada jengkal tanah basah di sudut ruang akalku. Karena tak mungkin tanaman menjalar ini akan merambat ke salah satu pintu rahasia, yang membuka tabir ilegi euforia.
            Sebuah delman dengan kuda gagahnya melintas di depan sudut mataku, pada jarak yang tak terlalu jauh, delman itu berhenti, menurunkan tiga orang di dalamnya dengan kebahagiaan yang terpancar, kebahagiaan sebuah keluarga. Entah kenapa saat melihat tiga orang itu jantungku berdetak dengan cepat, mataku memacu tak berkedip saat melihat lelaki itu, dan… apa itu? Disampingnya ada sosok yang bernama wanita dengan kain panjang penutup kepalanya, dan akh.. makhluk yang kubenci, seorang anak kecil yang bergeliyat manja pada mereka berdua. Kakiku melangkah cepat mendekati mereka, sebelum tanganku menyentuh pundakmu kau keburu telah menghadap padaku. Kau terpana, namun aku lebih terpana karena sorot wajahmu tetap tajam seperti dulu, tetap memancarkankan pesona kepada siapa pun yang melihatnya. Gurat wajah kau menandakan sebuah tanya, aku tak kuasa berucap apa-apa.
            “Dian? Bagaimana kabarmu, oh..Kamu terlihat semakin tua, kuharap kau juga sudah berkeluarga. Kenalkan..ini Khadija isteriku.”
Dia tersenyum kikuk memperkenalkan sosok wanita di sampingnya. Dan wanita itu tersenyum manis kepadaku sambil mengangguk menggendong anaknya. Dia mengucapkan salam yang tidak kumengerti.
Aku masih belum bisa mengejapkan mataku. Mulutku masih terbuka, namun tidak keluar suara apa-apa. Dengan spontan kutarik tangan kau ke sudut taman, kau kebingungan. Sedangkan wanita dan anaknya itu terpana melihat tingkahku yang repleks begitu saja.
            “Kau, telah melupakan janji itu..” Aku tersedak. Suaraku terdengar parau.
            “Aku tidak pernah berjanji menyanggupi hal gila itu.”
            “Apa?! Lalu kau anggap apa kebersamaan kita selama ini?
“Ya.. aku hanya menganggapnya biasa saja...” Kau berkata dingin. Sedingin pandangan matamu saat itu.
“Lantas mengapa kita tidak bisa bersama??!” Aku mencoba menahan seluruh beban dalam-dalam. Kurasakan sebentar lagi isi langit akan tumpah membasahi ubun-ubunku.
            “Sudahlah Dian… Kita tidak akan bisa bersama, karena kita laki-laki...”
Tepat saat itu suara petir menyambar-nyambar. Mengagetkan seluruh jiwa-jiwa yang ada berpijak pada tanah. Aku memejamkan mata, tak lama kemudian kepalaku menggeleng cepat.
 Kau beranjak pergi menjauh dariku yang saat itu mulai memapah air hujan. Kau secepatnya merangkul wanita dan anak kecil yang kau anggap sebagai satu kebahagiaan. Membawa mereka ke tempat penaungan bahtera yang melahirkan sejuta penyesalan. Selesai sudah semua perkara, tetap sedia kalanya hancur belaka. Aku mengalah, karena sejatinya aku selalu kalah terhadap takdirku sebagai laki-laki. Aku tak bisa menerimanya, sehingga aku tetap pasrah dengan kemauan hatiku, kemauan yang selalu kuanggap gila. Namun anehnya aku selalu menurut seperti seekor binatang yang dililit tali belati pada lubang hidungnya.
            Aku menjauh. Kugadaikan luka pada taman impian ini, atau setidaknya kuselipkan bongkahan impianku pada sebuah patung wanita tua itu, yang rela mendengarkan seluruh kekecewaanku pada dunia. Dalam sekat kutandingi asa pada kehampaan jumawa. Kupeluk Banjarbaru, pada titian taman seribu keelokan. Biar saja semua berlalu. Karena sebuah cerita yang tak berkesudahan akan menjauh pada tatapan mata batinku.
            Saat itu langit menumpahkan seluruh isinya. Hujan yang membeku pada suara. Orang-orang akan berlarian, serta menganggap itu sebagai sebuah peristiwa. Peristiwa yang semua orang akan menganggapnya sebagai simbol perpisahan.
*****

Aku tetap mengasah pisau di permukaan dinding-dinding langit. Lalu kubiarkan segerombolan cecak berkejaran. Berbisik sambil menenun bulan, sehingga membuatku pasrah dilanda kegalauan yang amat menyekat.
            Siluet itu tembus menyerupai batang-batang cahaya. Gemeriak aliran angin di luar jendela sana, kutatap lekat-lekat batang pohon cemara yang sepintas mirip sosokmu. Samar-samar kulihat rupamu di sana, seperti membentuk kaca pecah. Lalu aku terbangun dari mimpi, mimpi yang tak berkesudahan. Semuanya berpecah-belah menjadi kepulan mekanik kristal yang menggema, meraung-raung di telinga dengan membahana. Yang tak pernah mati, yang takkan bisa mati sekali.[]

Banjarmasin, 26 Desember 2011

Anak Orang


Anak Orang
Oleh: Arief Rahman Heriansyah

Sesungguhnya dia adalah anak lelaki yang dilahirkan dari keturunan orang biasa. Di sebuah desa yang terletak di pesisir sungai batu benawa pulau selatan Kalimantan. Di tempat itulah, rumah sederhana berdinding anyaman tikar ia dibesarkan bersama keluarga yang mendidiknya. Tak ada yang lebih dari dirinya. Hanya saja ia memiliki ketertarikan sendiri bagi orang-orang yang melihat sosoknya. Orang-orang akan sengaja memandang sosok itu sedikit lebih lama, seperti enggan berpaling melihat keanehan yang indah itu walaupun sesaat.
 Saat ia berumur tujuh tahun, memang sudah nampak perbedaan dari teman-teman bermain sebayanya itu. Teman-teman sepermainan yang berpenampilan acak-acakan dan apa adanya, serta kulit hitam kasar dan rambut kusut-masai. Sedangkan ia bertubuh bersih dengan ramput ikal yang tersisir rapi. Sangat terlihat kontras, seperti batu kerikil putih di tengah pasir hitam pinggiran pantai. Namun dia tidak merasakan perbedaan itu, hanya mata orang-orang dewasa lah yang akan tersenyum dan kemudian tertegun melihat ia dan teman-temannya dikala bermain. Ada yang terlihat janggal namun terasa indah untuk dicermati..   
Panggil saja dia Yusuf. Selanjutnya ia akan tersenyum saat mendengar namanya disebut. Bukan ketersengajaan Orangtuanya menamai demikian, namun memang parasnya sudah ditakdirkan bak Nabi Yusuf turun ke permukaan. Ibunya Aminah sangat menyadari perbedaan menonjol dari sosok anak lelaki semata wayangnya itu. Maka dari itulah ia betul-betul merawat serta memberikan kebutuhan yang cukup untuk putranya. Akan tetapi dia tidak pernah melarang dan mengekang apabila si Yusuf kecil ingin bermain bersama teman-temannya. Semua ia lakukan agar Yusuf bisa membangun mentalnya dan kelak dapat bermasyarakat bila ia sudah dewasa pada waktunya.           
Kemudian ia tersenyum sendiri, mengingat wajah tampan  anaknya muungkin juga menuruni dari wajahnya sendiri. Aminah menerawang, mengingat masa lalunya saat remaja menjadi kembang desa dan jadi para rebutan lelaki lajang di desanya itu. Sampai ia resmi menjadi isteri yang sah dari Abdurrahman, seorang lelaki desa yang tak kalah tampannya. Yang memiliki sepasang mata tajam dan garis kokoh di wajahnya, serta tubuh yang tidak cacat dan tegap sempurna. Walaupun pekerjaannya hanya nelayan biasa yang mencari ikan-ikan di sungai karena kewajiban membantu Orangtuanya, namun Aminah merasa mantap menerima pinangannya saat itu –setelah ia berkali-kali menolak pinangan dari lelaki yang lebih berada-, karena melihat ketulusan dari wajah Abdurrahman muda serta sifatnya yang terkenal santun dan bertanggung-jawab. Saat itu pula, musnahlah sudah harapan para lelaki dan gadis lajang di desanya itu, sebab orang yang telah lama didambakan sudah menjadi milik orang lain.  
“Assalamu’alaikum, Mama!” Aminah kaget, kemudian kesadaran menyelimuti seluruh dirinya. Suara teriakan Yusuf yang baru datang ke rumah menyadarkan ia dari lamunan panjangnya tadi. Seraya membalas salam Aminah tersenyum memandang anaknya yang berlumuran lumpur di tubuhnya dan nampak ugal-ugalan. 
“Kamu dari mana, sayang? Lihat tubuhmu kotor sekali...” Tanya Aminah sambil mengelus lembut kepala putranya.
“Mama, tim kami tadi menang lagi delapan kosong dari timnya Adi. Main bolanya lebih asyik karena harinya tadi hujan deraaaas sekali.” Jawab Yusuf kecil dengan penuh antusias, sehingga membuat Aminah semakin gemas dibuatnya.
“Ya sudah, kamu mandi dulu ke belakang sana. Mama tidak mau kalau anak mama nanti sakit.”
“Iya, Mah..” Kemudian Yusuf berlari menuju ke belakang rumahnya dengan meninggalkan jejak kotor di lantai. Aminah tertawa dan geleng-geleng kepala melihat semuanya itu. Kemudian ia mendesah, dan ia semakin yakin jikalau Yusuf sudah dewasa nanti akan persis seperti suaminya.
            Ketika liburan kelulusan sekolah, Yusuf yang saat itu berumur dua belas tahun dibawa oleh neneknya ke desa Kuin di Banjarmasin untuk berlibur. Lingkungan dan keadaan yang berbeda membuat ia harus bisa beradaptasi terutama dengan teman-teman bermainnya nanti. Memang benar adanya, dengan begitu cepat ia mendapat teman-teman sebayanya, bahkan mengalir begitu saja. Anehnya semua anak-anak di kampung itu ingin berteman dengannnya. Tanpa peduli dengan status mereka yang kebanyakan anak-anak terpandang. Dan reaksi aneh dari penduduk kampung ini pula yang kadang membuat Yusuf sedikit menyimpan pertanyaan. Bagaimana tidak, saat ia lagi sedang bermain atau sekedar berjalan-jalan maka orang-orang dewasa khusunya ibu-ibu yang kebetulan melihatnya akan langsung tertegun, dan kemudian akan saling berbisik-bisik satu sama lain.

             “Dia baru aku lihat, anak siapa itu?”
“Ssst.... Anak orang!”
            Maka dia hanya bisa berdiam diri, sebab diam adalah pilihan yang paling terbaik bagi dirinya. Bukannya tidak sadar kalau selama di kampung ini ia menjadi pusat perhatian, akan tetapi dia teramat sadar. Dan ia kembali memilih untuk diam.
            Pesantren, adalah pilihan Aminah untuk memasukkan Yusuf agar bisa belajar agama di dalamnya. Dengan meminta persetujuan suaminya Abdurrahman terlebih dahulu, Aminah semakin mantap hatinya agar putra semata wayangnya ini bisa menjadi orang. Bukan hanya bisa membedakan antara yang hakiki dan bathil, namun tentu tujuan utama Aminah agar Yusuf kelak dapat bermasyarakat dan berjiwa pemimpin. Maka saat itulah Yusuf menimba ilmu di pesantren kota, yang berada jauh dari kampung halamannya di Batu Benawa Barabai.
            Tak bisa dipungkiri, kejadian itu berlanjut kembali. Yusuf dapat merasakan kalau ia selalu menjadi pusat perhatian di tengah teman-teman barunya itu, atau pun dari kakak-kakak kelasnya. Anehnya pula hanya beberapa hari  dengan cepat pula ia begitu akrab dengan mereka. Namun pada kenyataannya bukan Yusuf yang ingin memulai, seakan banyak magnet di dirinya sehingga membuatnya orang-orang di sekelilingnya demikian.
             Anak orang telah menyelami bagaimana rasa hidup dalam penjara suci, yang tak pernah lepas dari kitab kuning dan memakai peci. Tak ada yang namanya wanita, maupun pergaulan bebas seperti dunia luar. Hanya orang-orang sesama jenis itu saja lah yang ditatap setiap harinya. Orang-orang di dalam sana ingin lebih dekat dengannya, sehingga menimbulkan perasaan lebih kepada dia. Dan dia kembali diam menanggapi kelakuan aneh orang disekelilingnya, walaupun sebenarnya ia amat takut karena baru merasakan anehnya kejadian ini menyerang dirinya. Namun dari segi lain ia sadar kalau penyakit ini selalu ada pada setiap pesantren, dan lama-kelamaan akan hilang dengan sendirinya apabila santri itu sudah menyelesaikan pendidikannya. Lebih dari itu sebenarnya dia sangat merindukan keluarganya di kampung halaman, terlebih kepada Ibunya yang memiliki embun penyejuk bagi dirinya. Dia menggenggam rindu teramat sangat.
            Lalu waktu memakan usianya yang menginjak dewasa. Lepas dari kehidupan pesantren membuatnya benar-benar mengerti makna sedikit dari arti hidup. Sehingga keadaan itu membuat dirinya menjadi matang secara fisik maupun mentalnya. Aminah dapat melihat kalau putranya bukanlah Yusuf kecil sepuluh tahun lalu, namun putranya sekarang lebih sempurna di  matanya. Tubuh tinggi dan tegap, serta sepasang mata yang tajam menyerupai elang dihiasi dengan alis yang lebat. Aminah seperti menangkap sosok suaminya dikala bujangan dulu. Dan sepertinya Yusuf memancarkan aura kesempurnaan yang melebihi dari Ayahnya dulu.
            Kampung Batu Benawa lebih berwarna semenjak kedatangan kembali seorang Yusuf yang seperti menghilang selama enam tahun karena harus menimba ilmu selama di pesantren. Dan kali ini penduduk setempat menyadari perubahan sosok yang sangat berbeda dari enam tahun yang lalu, serta keramah-tamahan Yusuf yang memukau tak sedikit membuat orang berdecak kagum dan terpesona. Bahasa tubuh  yang sopan kerap dibawa ketika dirinya keluar rumah untuk membantu Ayahnya mencari ikan atau sekedar jalan-jalan keliling kampung untuk bernostalgia bersama teman-teman bermainnya dulu. Tak pelak begitu banyak para ibu desa yang mengidamkan ia kelak agar bisa menjadi menantu atau kemudian kecewa karena menyadari bahwa tidak memiliki anak gadis yang masih perawan di anggota keluarganya.
            Aisyah, adalah satu dari gadis belia dari kampung itu yang menyimpan kekaguman kepada sosok Yusuf. Dirinya yang memiliki paras yang ayu serta sikapnya yang sopan-santun seperti mempunyai daya tarik tersendiri. Entah kenapa hatinya berdesir hebat dikala berpas-pasan dengan Yusuf di jalan, atau wajahnya akan nampak memerah menyimpan rasa malu ketika Yusuf melempar senyum ke arah dirinya. Aisyah amat heran dengan perasaan aneh yang menyerang dirinya karena ia baru pertama kali mengalami gejolak ini dikala berhadapan dengan lawan jenisnya. Dan tanpa sadar ia mulai mengenal apa itu cinta. Dan rupanya Yusuf dapat menangkap gelagat aneh itu, akan tetapi dia bersikap biasa saja seolah hanya memendam reaksi hangat itu. Diantara gadis lain yang ada di kampung ini, hanya sosok Aisyah lah yang mampu membuka pintu hati kecilnya yang sekian lama tak ada seorang perempuan pun bisa menembusnya. Namun untuk yang kesekian kalinya ia lebih memilih diam. Mereka berdua hanya bisa menyimpan perasaan itu rapat-rapat tanpa ada orang lain yang tahu. Tak ada yang bisa mereka lakukan karena kampung ini masih memegang adat tradisi yang kuat dari jamahan kehidupan kota, yang hanya Orangtua lah yang berhak menentukan kelanjutan dari kehidupan yang baru bagi anak-anaknya.
            Dikala Yusuf sedang bercengkrama dengan Ibunya di beranda belakang rumah, terdengar ucapan salam dari pintu depan rumah mereka. Sontak hati Yusuf senang mendengarnya, tentu saja ia sangat mengenal suara lembut milik seseorang itu. Sejurus kemudian sambil membalas salam ia berjalan tergesa-gesa untuk membuka pintu rumah, dan terlihatlah sosok itu. Paras yang sangat jelita dibaluti dengan kerudung merah nampak menunduk malu. Dengan menenteng rantang makanan gadis itu berkata sopan dan pelan.
            “Bibi Aminahnya ada Bang?” Sosok itu masih menunduk malu.
Sesaat lelaki dihadapannya agak terpana, namun kemudian ia bisa menguasai dirinya.
            “Oh, ya...ya, beliau ada di dalam. Silakan adik masuk dulu.” Balasnya ramah.
Saat ia ingin menuntun gadis itu masuk ke dalam rumah, suara tercekat itu nampak terdengar lirih.
            “Ti...tidak Bang.” Suara itu  membuat Yusuf berpaling kebingungan.
            “Ma’af Bang... Aisyah sedang  terburu-buru, titip makanan ini saja buat Bibi.” Ucapnya pelan.
“Oh, baiklah.” Nampak kehati-hatian tercipta dari perilaku mereka berdua. Seperti ada yang lebih untuk disembunyikan, namun hanya mereka yang mengetahui perasaan itu. Saat Aisyah mohon pamit dan meninggalkan tempat tinggalnya, sepasang mata tajam miliknya entah kenapa mengikuti langkah yang menjauh dari kaki punggung belakang gadis itu. Dan ketika sosok itu sudah menghilang di persimpangan jalan, dengan begitu cepat tangannya yang kekar memungut sebilah ranting dan menggoresakan sesuatu di atas tanah pekarangan rumahnya.
Hatiku meledak...
Tanpa ada seorang pun yang tau.
Sehabis itu ia tersenyum dalam diam. Menggenggam perasaan itu sendiri sambil memandang goresan hatinya di atas tanah. Kemudian ia mendesah, berpikir entah  kapan   impiannya yang satu ini dapat terwujud. Mengingat umurnya sekarang sudah lebih berkepala dua, tentu ia  sudah merasa kesiapan mental yang lebih kuat.
Tak jauh dari tempat itu tanpa sepengetahuan putranya, Aminah sudah lama memperhatikan gerak-gerik putranya ketika berhadapan dengan kembang desa tadi. Dan sejurus kemudian Aminah tersenyum, ia sadar kalau dirinya tidaklah muda lagi.
Suatu ketika kampung  mereka ditimpa bencana banjir tahunan yang sangat parah dari tahun-tahun sebelumnya. Menimbulkan derasnya air sungai tumpah melebihi batas yang normal  sehingga mengakibatkan rumah penduduk banyak yang terendam banjir karenanya. Petaka itu menimpa di kala Aminah dan Yusuf sedang menunggu kedatangan seseorang untuk pulang pada senja itu. Dan saat adzan maghrib berkumandang terjawablah kabar pilu itu, seakan petir menjelma di malam gelap. Aminah menangis histeris mendengar suaminya Abdurrahman terhanyut oleh arus sungai di kala menjala ikan tadi siang, dan lebih memilukan lagi penduduk setempat belum menemukan jasadnya yang hilang. Pada pagi keesokan harinya pencarian dilanjutkan dengan mengerahkan tim SAR yang didatangkan jauh dari kota. Dan pada akhirnya jasad itu ditemukan dengan membiru lebam diseluruh tubuhnya. Aminah semakin lemas tak berdaya  mendapati jasad suaminya yang terbaring kaku di hadapannya. Sedangkan Yusuf menangis dalam diam, mengingat semua kenangan dari seorang Ayah menari-nari di benak kepalanya.
            Sejak peristiwa yang memilukan itu, Aminah seperti orang yang kehilangan kesadaran. Seringkali ia melamun dengan pandangan kosong di beranda rumahnya. Atau duduk melamun sambil bergumam sendiri layaknya berbicara kepada seseorang. Menyadari perubahan tragis dari Ibunya, Yusuf  merasakan pilu yang teramat sangat. Kini Ibunya tidak seperti dulu lagi. Ibu kandung yang ia kenal sekarang terlihat sangat kurus dan kecantikannya terlihat sangat memudar. Dikala Yusuf sedang menyuapi Ibunya maka makanan itu akan disemburkan kembali dari mulutnya. Menambah miris hati anak orang itu menerima kepahitan itu semua. Hingga sosok mulia di hadapannya itu sungguh tidak mengenali lagi semua orang yang berada di sekitarnya. Roda kehidupan seperti memutar cepat dalam dirinya.
            Semakin waktu berlalu cepat, keadaan Aminah semakin tidak menunjukkan adanya perkembangan. Rambutnya yang kusut-masai sering dibiarkan tergerai begitu saja. Garis wajah yang mengerut tak terurus seperti terlalu tua untuk diindahkan. Kadang tertawa sendiri dan seterusnya tangisan pilu yang akan terdengar menyayat hati. Yusuf lah yang selalu ada untuknya. Menemani di setiap apa yang mesti harus ia lakukan. Walaupun sebenarnya perih yang ia rasakan, namun anak orang berusaha tegar menghadapi kenyataan. Ia sadar kalau dirinya rapuh di tengah keputus-asaan. Namun kehadiran Aisyah untuk membantunya seperti ada embun sejuk yang menyelimuti kesedihan itu di sana.
            Nasib naas menimpa seorang warga kampung yang saat itu sedang melewati pekarangan rumah mereka. Tanpa disadari Aminah yang saat itu sedikit lepas dari pengawasan Yusuf  tiba-tiba berontak dan mencelakai warga itu dengan sebatang kayu di tangannya. Semua warga kampung kini tak ada yang berani mendekati dua orang beranak itu, namun dibalik semuanya itu sebenarnya penduduk desa menyimpan rasa kasihan kepada mereka berdua. Maka mendapati kenyataan demikian Aisyah telah dilarang keras oleh Orangtuanya untuk mendekati Yusuf. Aisyah mencoba menjelaskan namun tak ada yang dapat mengerti perasaannya, sehingga dengan hati yang pilu ia keluar dari kehidupan sosok anak orang. Mungkin tidak lama lagi gadis ranum berjiwa besar itu akan dijodohkan oleh Orangtunya  dengan pemuda yang lebih jelas masa depannya.
            Aminah semakin sulit untuk diurus, menelan sesuap makanan pun tak mau ia lakukan. Karena sering mencelakai dirinya sendiri dengan benda tumpul di sekitarnya  maka dengan sangat berat hati Yusuf melakukan tindakan memasung Ibunya di dalam rumah. Dengan meneteskan air mata Yusuf mengikatkan rantai pada kayu balok berlubang itu. Sedangkan yang dipasung terus meronta-ronta sambil meneriakkan ucapan tidak jelas. Lalu kemudian Yusuf tersedu-sedan, sambil memeluk tubuh Ibunya yang sangat kurus itu ia berbisik parau.
            “Aku sangat mencintaimu Ibu. Aku tak ingin engkau terluka lebih jauh lagi...”
Yang dipeluk terdiam kaku seperti menangkap ada aliran sinyal yang merasuki otaknya. Namun setelah itu ia kembali mengoceh sambil tertawa dengan sendirinya.
            Lelaki itu tetap menjadi anak orang dalam kebisuan. Seakan dunia sudah mau runtuh menghantamnya, namun ia tetap memilih untuk diam. Anak orang dari kampung seberang seakan menjadi legenda. Lewat garis hidupnya yang pilu ia ingin bercerita. Dan kemudian tanpa ia sadari waktu berjalan memakan garis sisa usianya.[]

*****
Amuntai, Agustus 2011