Jumat, 12 Agustus 2011

Jejak Rumah Lanting

Jejak Rumah Lanting
Oleh:Arief Rahman Heriansyah
 
 
            Barangkali rumah-rumah lanting itu tampak oleng oleh derasnya musim penghujan pada musim ini. Atau bisa juga atap rumbianya terlihat sangat kering seperti kerangka dedaunan mati karena kejamnya musim kemarau yang melanda para petani pada umumnya, atau para pengrajin tradisional di desa ini. Notabene rumah penduduknya entah kenapa selalu tertajak atau lebih cenderung tepat mengapung di pinggiran sungai keruh yang membentang lebar di sisi jalan desa. Perihal ini tentu juga memudahkan oleh Ibu rumah tangga yang menyuci pakaian dan sekedar keperluan MCK lainnya.
          Zubaedah masih termanggu duduk di belakang pelataran rumahnya. Kali ini dia malas manjurai seperti halnya yang ia lakoni pada setiap harinya. Atau menyulam lampit dan anyaman tikar pun terasa enggan, entah kenapa rasa malas membuat tangannya berat untuk mengerjakan sesuatu.
            Sesekali ia usap kepala Anisa, si bungsu yang tertidur pulas di samping tubuhnya. Rumah agak sepi karena satu anaknya yang lain pergi sekolah. Beruntung pemerintah menerapkan sekolah gratis bagi pendidikan sekolah dasar, sehingga tidak membuat Zubaedah pusing untuk memikirkan biaya. Sedangkan anaknya yang tertua; Rahman yang menginjak umur tujuh belas tahun, pergi ke kota ikut saudara almarhum suaminya bekerja.
            Sunyi kembali menyelimuti pikirannya. Ia sesekali mengusap peluh di lehernya yang jenjang. Musim kemarau kali ini terlalu panas dari tahun-tahun sebelumnya.Sesekali suara bising kapal kelotok yang lewat di sungai belakang rumah memecah keheningan. Zubaedah menahan napas, dadanya terasa sesak. Bagaimana pun ia masih terngiang perkataan lelaki itu malam tadi.Walaupun Zubaedah sudah berapa kali menepisnya.
 
*****
 
            “Sudahlah Zubaedah, akhiri saja masa jandamu. Menikahlah denganku.”
            Wanita itu terdiam sambil menggendong Anisa di pangkuannya. Dia tersenyum samar memandang lelaki di depannya ini. Lelaki yang tentu berpunya, sebab mempunyai tanah berhektar-hektar luasnya. Sekaligus orang terpandang dan terkaya di kampung ini. Ini sudah yang kesekian kalinya H.Ma’mun bertandang ke rumahnya, cuma untuk merayu atau selebihnya memaksa agar dia bersedia menikah dengannya. Kali ini H.Ma’mun datang bersama salah satu ajudannya, yang siap ikut andil bicara kalau Bosnya kehabisan kata-kata.
            “Bayangkan, rumahmu yang hanya terbuat dari kayu lapuk ini akan kuubah menjadi beton! Kau tak perlu lagi bekerja serabutan setiap harinya. Dan, oh…aku lupa siapa nama anak tertuamu itu?! Rahman, ya..ya! Dia tak perlu lagi bekerja tak jelas di kota sana. Akan ku sekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi .Apakah semua itu tidak cukup untukmu, Zubai?”
            “Iya Bu Zubai. Kurang apalagi H.Ma’mun ini. Rugilah kalau kau tidak menikah lagi. Lagi pula parasmu masih elok nian dipandang.” Timpal ajudan yang tidak mau kalah dengan kata-kata pujangganya. H.Ma’mun sambil sesekali melempar senyum. Entah kenapa Zubaedah merasa jijik melihat senyum yang ia rasa sangat aneh itu.
            “Aku cuma kasihan denganmu, Zubai…”
            “Sudah cukup, Pak!!!” Wanita itu terengah-engah. Habis sudah kesabarannya.
            Hening.
            H.Ma’mun bersitegang. Ia tak menyangka kalau wanita di hadapannnya ini juga bisa marah. Tak bisa dipungkiri, Zubaedah sudah muak dengan akal rayu yang H.Ma’mun lontarkan sesering ini.
            “Saya tidak butuh belas kasihan Bapak. Saya bisa mengurus dan menafkahi ketiga anak saya sendiri. Sekarang Bapak keluar dari rumah saya.!!’ Zubaedah naik pitam. Tanpa ia sadari refleks mengusir H’Ma’mun dan ajudannya.
            “Ta...tapi,Zubai…”
            “Sudah…Bapak sebaiknya cepat keluar!” Suara Zubaedah semakin meninggi, sehingga membuat Anisa yang ada di pangkuannya  mena gis keras karena ketakutan.
            “Oke , saya akan keluar. Tapi tunggu..”
H.Ma’mun terlihat sedang merogoh sakunya. Setelah itu terlihat beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah di tangannya.
            “Terimalah ini. Untuk keperluan anak-anakmu…
            “Tidak usah! Sudah saya bilang kalau saya mampu menafkahi anak-anak saya sendiri!” Zubaedah menampik uang yang diserahkan H.Ma’mun.
            “Tapi saya cuma mau meringankan bebanmu!”
            “Sudah, saya bilang Bapak keluar! Urus saja kedua isteri Bapak yang lain. Tak usah mencampuri urusan kehidupan saya!” Zubaedah terisak. Mau tak mau H.Ma’mun memasukkan kembali uang itu ke kantongnya dan mengalah berjalan keluar rumah. Sekarang ia gagal kembali merayu seorang janda kembang, yang juga masih sangat cantik walaupun sudah beranak tiga.
            Zubaedah terduduk lemas sesenggukan. Sambil memeluk erat Anisa yang juga menangis, tak tahu apa yang sedang terjadi dengan Ibunya.
 
*****
 
            Zubaedah menghamparkan anyaman di bantaran halaman rumahnya untuk dijemur. Siang ini terasa menyengat sampai ke ubun-ubun kepala, namun tak membuat urung wanita itu untuk enggan mengerjakan aktifitas sehari-harinya. Zubaedah memang termasuk wanita pekerja keras dan ulet.           
            "Assalamu'alaikum Uma!”         
            Zubaedah menoleh sembari membalas salam kepada anak perempuannya yang baru datang dari sekolah. Dengan takzim Halimah kecil mencium tangan Ibunya.
            "Bagaimana pelajaranmu hari ini, Nak?” Tanya sang Ibu ramah.            “
            “Ma, hari ini ulangan matematika Imah dapat sepuluh lagi!” Ucap Halimah anak kedua Zubaedah yang sudah duduk di bangku kelas tiga SD. Zubaedah tersenyum lembut sambil membelai kepala anaknya.
            “Rajin-rajin ya belajarnya. Oh, Uma baru ingat kalau persediaan beras sudah habis. Uma mau ke pasar dulu sebentar. Jaga Anisa dirumah ya.” Halimah anaknya mengangguk takzim. Sambil merapikan kerudung birunya yang kumal, Zubaedah bergegas melangkah menuju ke pasar.
            Pasar Sanayan Tabudarat. Begitulah orang-orang sering menyebut pasar tradisional ini. Pasar yang terletak di sebuah desa Hulu Sungai Kalimantan Selatan, berbagai bahan pangan maupun kerajinan tradisional tersedia disini. Biasanya para penjualnya adalah kaum hawa, namun tak jarang juga sekarang banyak pedagang laki-laki yang ikut menawarkan barang dagangannya.
            Zubaedah berjalan pelan menulusuri keramaian pasar. Banyak para pedagang menawarkan barang yang mau dijual kepadanya, tapi Zubaedah tolak secara halus karena yang ia perlukan bukan barang dagangan mereka. Sesekali wanita itu tersenyum kepada orang-orang yang berselisih arah jalan. Sampai akhirnya tibalah ia di muka toko sembako untuk membeli keperluannya.
        Setelah membeli beras dan gula Zubaedah berpikir untuk segera pulang. Karena ia baru ingat kalau kedua anaknya di rumah belum terisi perut mereka dari siang tadi. Apalagi hari sudah mau sore. Namun tiba-tiba hidung Zubaedah mencium bau sesuatu; bau cempedak. Rupanya sudah musimnya bulan ini, pikirnya. Zubaedah tersenyum. Lalu secepatnya ia mencari sumber bau harum itu. Ia pikir tak ada salahnya untuk membeli satu buah cempedak saja untuk disantap bersama Halimah anakmu di rumah, ia pasati suka. Lagipula masih ada sisa uang untuk membeli kebutuhan yang lain bila-bila suatu saat dibutuhkan. Lalu Zubaedah menuju ke arah toko buah-buahan itu. Toko itu agak besar mengarah panjang kebelakang. Setelah sampai Zubaedah langsung menimbang-nimbang satu buah cempedak untuk merasakan buah yang mana isinya paling pas masaknya untuk dimakan. Namun setelah mau memanggil penjaganya, Zubaedah tertegun. Matanya menangkap sosok yang tak asing lagi bagi dirinya.
            Zubaedah tersentak kaget. Entah kenapa perasaannya langsung tak enak. Disitu terlihat H.Ma’mun sedang  mengobrol dengan penjaga toko yang rupanya masih muda dan cantik. Sesekali tangannnya usil mencolek pinggang penjaga toko itu. Namun kemudian H.Ma’mun menyadari keberadaan Zubaedah. Ia sangat terkejut dengan sosok wanita itu dihadapannya. Sejurus kemudian Zubaedah langsung meletakkan kembali cempedak ditangannya dan langsung bergegas untuk menjauh.
            “Dasar lelaki mata keranjang!” Gumam Zubaedah kesal. Ia langsung bergegas cepat.
            “Zubai, tunggu!!” Cepat-cepat H.Ma’mun bangkit dan berusaha mengejarnya. Namun sepertinya langkah Zubaedah terlau gesit untuk dikejar tubuh lelaki yang bertubuh gempal itu.
 
*****
            Zubaedah mempercepat langkahnya menuju rumah. Pikirannya kalut. Entah kenapa kepalanya terasa sangat pusing dan ia merasa mual. Tanpa ia hiraukan lagi kalau Halimah anaknya tengah menunggu di depan rumah.
            “Uma…!!”
            Halimah berlari keluar rumah menyongsong Ibunya. Matanya sembab, Zubaedah agak kebingungan. Dengan tergopoh-gopoh ia menghampiri anaknya yang seperti mau menangis.
            “Imah, ada apa sayang?” Zubaedah bertanya lembut, namun wajahnya juga nampak kebingungan.
            “Uma…si Anisa mati lamas di belakang rumah!!”  
Deg! Hati Zubaedah tersentak, serta merta ia berlari masuk ke dalam rumah. Menerobos ruang tengah menuju dapur, lalu ke arah pelataran belakang rumah. Mata Zubaedah menyapu seluruh keadaan. Saat itu sebuah kapal kelotok melaju sehingga menimbulkan riak arus sungai di belakang rumah mereka. Saat itulah mata Zubaedah melotot. Di situ, tepat dihadapan penyangga rumahnya, tubuh Anisa  mengambang tertulungkup di bawah sana. Hati Zubaedah seketika gemuruh.
 
*****
 
            Zubaedah berkabung duka senja ini. Segerombolan para pelayat turut mengantarkan jenazah Anisa anaknya sampai ke pemakaman. Zubaedah menangis terisak-isak. Di sampingnya, Halimah dan Rahman anak tertuanya turut bersedih atas kematian adik mereka secara mendadak. Banyak kerabat yang turut berduka-cita dan menyemangati agar keluarga itu tabah menghadapi cobaan ini. Tak jauh dari para pelayat itu, tanpa zubaedah sadari H.Ma’mun memperhatikan dari jauh. Entah kenapa ia tersenyum melihat kesedihan Zubaedah senja itu.
            Malamnya Zubaedah memaksa Halimah untuk bicara. Mengapa kejadian tragis itu sampai-sampai terjadi kepada anak bungsunya Anisa.
             "Siapa yang mendorong adikmu ke sungai belakang? Imah, coba jujur kepada Uma."
Zubaedah memegang erat kedua lengan Halimah. Zubaedah menatap anaknya tepat di manik mata. Sesaat Halimah tampak kebingungan, namun ia menyadari bahwa cuma darinyalah sang Ibu bisa meminta pengharapan. 
              “Dua orang bertubuh besar, Ma! Mereka tiba-tiba masuk ke rumah dan salah satu dari mereka langsung menggendong Anisa yang saat itu tidur. La…lu dia melempar tubuh Anisa ke sungai. Imah saat itu mau teriak, tapi temannya yang satu lagi membekap mulut Imah…” Halimah bercerita dengan tubuh gementar. Tampak sampai saat ini ia masih trauma dan ketakutan.
            “Apakah kamu mengenali wajah mereka, sayang?” Rahman anak tertua Zubaedah ikut menanyai adiknya. Bagaimana pun ia masih belum terima atas perlakuan kasar yang dilakukan kepada adiknya Anisa.  Zubaedah merasa menemukan titik terang.
            “Tidak, Ka… Wajah mereka ditutup pakai sarung. Tapi tubuh mereka tinggi & besar.”
Halimah menuturkan semuanya dengan polos. Zubaedah menghela napas. Bagaimana pun ia tak bisa menyalahkan Halimah karena  tidak bisa menjaga adiknya. Karena terlalu riskan dengan pelaku  kejahatan yang tak sebandikng dengan Halimah yang saat itu sendirian
*****
 
            Sudah hampir dua Minggu semenjak kejadian itu. Zubaedah masih belum tau siapa pelaku penyebab kematian anaknya. Tak ada yang bisa diminta bantu, lagipula Zubaedah sadar kalau dia hanya orang kecil tak berpunya. Hingga akhirnya ia ikhlaskan kepergian anaknya untuk selamanya. Zubaedah mulai bangkit menata kehidupan yang baru setelah dirundung rasa sedih berkepanjangan.
            Sampai saat ini juga H.Ma’mun terus melancarkan aksinya. Berbagai cara untuk membujuk Zubaedah agar mau menikah dengannya. Bahkan H.Ma’mun mau bersumpah untuk menceraikan kedua isterinya terdahulu. Namun Zubaedah tetap pada pendiriannya, selalu berpegang teguh dengan cinta kepada almarhum suamimu dulu. Baginya cukup anak-anaknya yang senantiasa menemani setiap saat dan waktu. Bagi Zubaedah mereka adalah harta yang tak ternilai harganya dari apapun di dunia ini.
 
*****
 
            Zubaedah mengeratkan ikatan tali pada lunta dan anyaman di perahu reyotnya. Satu-satunya barang peninggalan suaminya yang sangat Zubaedah jaga dengan segenap hati. Zubaedah akan berangkat ke desa seberang pagi ini. Menjual dagangan kerajinan tangan yang ia kerjakan berminggu-minggu lamanya. Pendapatan di desa seberang memang lebih besar daripada di kampungnya sendiri. Karena banyaknya persaingan, Zubaedah merasa lebih baik menjualnya ke desa orang lain.
            Halimah turut membantu merapikan dagangan yang hendak sang Ibu bawa. Rahman anak tertuanya tadi pagi telah kembali ke kota untuk bekerja. Sehingga hanya Halimah lah yang menemani Zubaedah di rumah. Lalu Zubaedah berpesan kepada Halimah anaknya agar menjaga rumah selama ia bepergianKarena perahu siap ia kayuh untuk berlabuh.
            Lantas Zubaedah teringat kembali dengan perlakuan nekat H.Ma’mun tadi malam. Ia datang menemuinya hanya untuk mengatakan kalau dia sudah menceraikan kedua isterinya. Lalu apa pula hubungannya denganmu pikir Zubaedah. Tanpa diceraikannya pun tak berdampak pula baginya .Namun H.Ma’mun bersikeras agar ia menerima lamarannya. Namun beruntung ada Rahman yang bertindak menyuruh H.Ma’mun agar berhenti merayu Ibunya karena itu akan sia-sia belaka. Ia katakan kalau Ibunya takkan menikah untuk yang kedua kalinya
            Zubaedah  terjaga dari lamunannya saat Halimah ingin menjabat mencium tangannya. Ia katakan kepada Ibunya untuk hati-hati di jalan dan cepatlah pulang sebelum petang. Lalu Zubaedah mulai mengayuh perahu menjauh dari pelataran belakang rumah lantingnya. Tampak Halimah melambaikan tangannya dengan riang, seraya mendo’akan Ibunya agar selamat sampai ke tujuan. Zubaedah kembali menerawang, baginya cinta sejati hanyalah satu kali dalam umur, dan itu akan ia pegang teguh sampai mati.
Rumah semakin menjauh dari pandangannya, namun Halimah tetap melambaikan tangan kepada Ibunya. Saat itulah, tanpa Halimah sadari ada sosok besar berkelebat di belakangnya dan siap mendorongnya ke sungai.
 
 
    Penjara Suci,
     1 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar